BOLEHKAH MELAKSANAKAN SHALAT LAIL DUA KALI ?
(SAMSUDIN)
Pada dasarnya perintah itu tidak menuntut pengulangan dalam pelaksanaannya kecuali ada qarinah lain berupa qaul atau fi’li, atau taqrir dari nabi shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana kaidah ushul yang disepakati jumhur fuqaha ;
الأَصْلُ فِى الأَمْرِ لَا يَقْتَضِي التَّكْرَارَ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ.
"Pokok pada perintah itu tidak menuntut pengulangan melainkan ada dalil yang menyelisihinya."[1]
Terdapat amalan seorang sahabat yang bernama Thalq bin ‘Ali ia pernah mengimami shalat qiyam ramadhan di mesjid dan berhenti tidak melanjutkan shalat witirnya dikarenakan teringat sabda nabi shallallahu alaihi wasallam tidak boleh ada dua witir dalam semalam. Sebagaimana kejadian tersebut dikonfirmasi oleh putranya sendiri bernama Qais bin Thalq. Berikut riwayatnya ;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَدْرٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
Telah menceritakan kepada Kami [Musaddad], telah menceritakan kepada Kami [Mulazim bin 'Amr], telah menceritakan kepada Kami [Abdullah bin Badr] dari [Qais bin Thalq], ia berkata; [Thalq bin Ali] telah mengunjungi Kami pada Bulan Ramadhan hingga sore dan berbuka bersama Kami, kemudian dia melakukan shalat sebagai Imam bagi Kami pada malam itu, dan melakukan witir, kemudian dia turun kemasjidnya dan melaksanakan shalat menjadi imam bagi sahabat-sahabatnya hingga tatkala tinggal shalat witir, ia mempersilahkan seseorang kedepan dan mengatakan kepadanya: shalat witirlah kamu sebagai imam bagi sahabat-sahabatmu, karena aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada dua witir dalam semalam!" Hr. Abu Daud : 1227.
Takhrij Hadis ;
Hadis tersebut diriwayatkan pula oleh Nasai ; 1661. Ahmad : 15704. Baihaqi, Sunan Al-Kubra ; 4921. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibni Khuzaimah : 11164.
Dari sekian mukharij yang meriwayatkan kejadian tersebut semuanya bermuara di Qais bin Thalq bin ‘Ali. Dengan demikian hadis ini termasuk hadis gharib, walau banyak mukharrij yang meriwayatkan aka tetapi bermuara pada seorang rawi saja yaitu Qais bin Thalq.
KRITIK SANAD ;
Semua rawi yang ada pada sanadnya tsiqat, hanya saja para ulama berbeda pandangan terhadap Qais bin Thalq, berikut ungkapannya ;
- berkata Utsman Ad-Darimi : aku menanyakan kepada Ibnu Ma’in :
Abdullah bin Nu’man dari Qais bin Thalq ? ia menjawab ; mereka syeikh-syeikh Yamamah itu tsiqat.[2]
- berkata Al-Ijli : ia orang Yamamah, seorang tabi’in tsiqat dan ayahnya seorang sahabat.[3]
- Berkata Ibnu Hajar Al-Asqalani : Shaduq.[4]
B) Ulama yang menjarh ;
- berkata Ibnu Abi Hatim ; aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah ; Qais bukan diantara rawi yang tegak hujjah dengannya.[5]
- berkata Ibnu Ma’in ; sungguh orang-orang berlebihan melebih-lebihkan Qais padahal ia dengan hadisnya tidak jadi hujjjah.
- berkata Asy-Syafi’i ; sungguh kami telah menanyakan mengenai Qais bin Thalq, maka kami tidak menemukan orang yang mengenalnya supaya bagi kami dapat diterima khabarnya.
Pandangan ;
Kalau kita perhatikan penjarh-an dari ulama-ulama yang mengkritik Qais mereka tidak menyebutkan alasan atau sebab penjarh-annya. Oleh karena itu, cara penyelesaiannya sesuai dengan kaidah jarh wa ta’dil bahwa ; “penjarh-an didahulukan daripada ta’dil itu apabila jarh-nya mufassar (dijelaskan sebab jarh-nya). oleh karena itu kritikan dari ulama-ulama tersebut tertolak.[6]
Akan tetapi tidak seratus persen ditolak minimal jadi pertimbangan. Sebab inilah Ibnu Al-Qaththan menilainya secara pertengahan yaitu hasan hadisnya. Sebagaimana yang diberitakan oleh Adz-Dzahabi ; “ berkata Ibnu A-Qaththan : menuntut bahwa keadaan khabarnya hasan tidak sampai shahih.” begitupun Tirmidzi menilainya Hasan Gharib.[7]
Terdapat pula riwayat lain yang semakna dengan ini, hanya saja pada riwayat lain tersebut tidak mengkisahkan amalan Thalq bin ‘Ali hanya sekedar menyampaikan sabda nabi shallallahu alaihi wasallam yaitu tidak ada dua witir dalam satu malam. Dan sumber beritanya dari Qais bin Thaliq sendiri dan ada pula dari selain dia, sebagaimana berikut ;.
1. Sumber dari Qais
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مُلَازِمُ بْنُ عَمْرٍو ، قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ بَدْرٍ ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
Telah menceritakan kepada kami [Hannad] telah menceritakan kepada kami [Mulazim bin Amru] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Badr] dari [Qais bin Thalq bin Ali] dari [ayahnya] dia berkata, saya mendengar Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada dua kali witir dalam satu malam." Hr. Tirmidzi : 432.
Telah menceritakan kepada kami Yunus, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Daud, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Utbah, dari Qais bin Thalq, dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda ; tidak ada dua witir pada satu malam. Hr. Abu Daud Ath-Thayalisi : 1193. Ahmad ; 24381, 24384. Thabrani, Mu’jam Al-Kabir : 8273. Al-Baghawi, Syarh Ma’ani Al-Atsar ; 1894.
Dari Mulazim bin Amer, dari Abdullah bin Badr, dari Qais bin Thalq, dari ayahnya berkata : aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ; tidak ada dua witir dalam satu malam. Hr. Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf Ibni Abi Syaibah ; 6813.
1. Sumber dari Ali bin Thalq
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَدْرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكُونُ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ.
telah menceritakan kepada kami Musa bin Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jabir dari Abdullah bin Badr 'Ali bin Thalq dari bapaknya berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada dua witir dalam satu malam. Hr. Ahmad : 15696.
Akan tetapi hadis ini dha’if karena pada sanadnya terdapat rawi Muhammad bin Jabir. Berkata Adz-Dzahabi : “Ibnu Ma’in mendha’ifkan dia, begitu juga Nasai. Dan berkata Bukhari ; ia (Muhammad bin Jabir) bukan rawi yang kuat. Berkata Abu Hatim ; “rusak hafalan dia di akhir usianya, karena kitab-kitabnya hilang.[8]
Setelah memperhatikan pemaparan di atas kirannya penulis berkesimpulan bahwa hadis Qais tersebut secara sanad derajatnya hasan.
Qiyamu Ramadhan atau tarawih termasuk diantara penamaan shalat lail, dinamai demikian karena dikerjakan di bulan ramadhan, begitupun shalat tahajud adalah salah satu nama dari shalat lail karena dikerjakan setelah bangun tidur di malam hari. Dengan demikian jika mengerjakan qiyamu ramadhan atau tarawih, kemudian setelahnya melaksanakan qiyamu lail atau kemudian melaksanakan tahajud itu sama saja dengan melaksanakan dua kali shalat lail. Pertanyaannya bolehkah melaksanakan dua kali shalat lail ? lalu shalat apa yang dilakukan oleh Thalq bin ‘Ali ketika mengimami orang-orang pada waktu itu ?.
Terkait amalan Thaliq bin ‘Ali, penulis menduga kuat itu adalah semata-mata ijtihad beliau semata, bukan melakukan hal yang biasa dilakukan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam. Hal ini dengan alasan ;
- Kejadian tersebut terjadi jauh setelah nabi wafat. Hal ini dapat diketahui dari penuturan anak beliau yang meriwayatkan kejadian tersebut yaitu Qais dengan ungkapan : “Zaaranaa Thalq bin ‘Ali” artinya telah berkunjung kepada kami Thalq bin ‘Ali… Pertama ; Qais adalah seorang tabi’in thabaqah ke tiga yakni thabaqah wustha (pertengahan) artinya tidak sezaman dengan nabi. Kedua ; Apalagi kalau dilihat dari tanggal wafat nabi th 11 hijriah, sedangkan Qais wafat pada th 130 H. ditakdirkan Qais berumur 100 taun juga tetep masih jauh kisaran 19 tahun selisihnya.
- Tidak diketemukan sahabat lainnya yang notabene lebih dekat mulazamahnya dengan rasulullah pernah melakukan yang sama.
- Yang mashur di kalangan sahabat lainnya hanya larangan tidak ada dua witir dalam satu malam. Sebagaimana pernyataan Aisyah r.a : “bahwa tidak ada dua witir dalam satu malam.”[9]
Maka dengan demikian, apa yang dilakukan Thalq mengimami shalat lailnya orang-orang pada suatu malam padahal beliau sebelumnya sudah melaksanakan shalat tersebut itu merupakan ijtihad Thalq, dan tidak mengulangi shalat witirnya karena larangan akan hal itu telah dianggap sharih (jelas) oleh Thalq. dan semata-mata ijtihad fardi sahabi bukan sumber hukum. Dan bukan pula yang dilakukan Thalq itu mengimami shalat tahajud, karena Qais tidak menerangkan tidur terlebih dahulu.
Kaitan dengan ijtihadnya Thalq, itu sah-sah saja karena di masa rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup beliau pernah menyuruh seseorang untuk shalat menyertai orang-orang berjamaah kendatipun seseorang itu sudah melaksanakan shalat di rumahnya. Dan itu merupakan pahala tambahan baginya. Sebagaimana riwayatnya berikut ;;
]Dari Jabir bin Yazid bin Al Aswad Al 'Amiri] dari [Ayahnya] ia berkata; "Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al Khaif." Ia berkata; "Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjama'ah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda: "Bawalah dua orang itu kemari!" maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi sedang urat mereka bergetar. Beliau bersabda: "Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama kami?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami telah shalat di tempat kami, " beliau bersabda: "Janganlah kalian lakukan, jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan shalat berjama'ah maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala nafilah kalian berdua." Hr. Tirmidzi : 203.
Dipaham dari hadis tersebut, disunatkan melakukan shalat kembali dengan catatan apabila hendak menemani berjama’ah.
Kesimpulan :
- Tidak boleh ada pengulangan Shalat lail (qiyam lail, qiyam ramadhan, tarawih, tahajud ) jika telah terpenuhi syarat dan rukunnya, kecuali apabila hendak menemani berjama’ahnya orang lain disunatkan.
- Jika terjadi pengulangan karena menemani berjama’ah, maka dilakukan tanpa witir.
Wallahu A’lam.
Maraji' ;
2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib ; VI : 534. cet, Daar el-Fikr, th. 1995.
3] Ibid,
4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib ; II : 489. cet. Daar el-Fikr, th. 1995.
5] Adz-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal Fii Naqdi Ar-Rijal ; III : 397. Daar el-Fikr.
6] Ibid,
7] At-Timidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmidzi ; II : 15. cet. Daar el-Fikr, th. 2005.
9] Al-Baghawi, Syarh Ma’ani Al-Atsar : 1901.
Comments
Post a Comment