IJTIHAD DAN METODE PENETAPAN HUKUM MUI, NU, MUHAMMADIYYAH DAN PERSIS
Oleh : Abu Fatwa Albani Syam
(SAMSUDIN)
ABSTRAK
Ijtihad merupakan suatu langkah yang sangat tepat
terutama dalam menghadapi suatu permasalahan yang kontemporer, hal ini memicu
para ulama untuk bisa menjawab tantangan persoalan yang ada kaitannya dengan
keputusan hukum bagi kemaslahatan umat. Dalam hal ini ormas-ormas islam
dituntut perannya untuk bisa memecahkan permasalhan umat baik dari segi aqidah,
ibadah dan muamalahnya. Dari sekian ormas-ormas besar yang berada di tanah air
ini ikut andil dalam memutuskan hukum melalui ijtihad mereka; dalam penetapan
hukum diantara ormas-ormas islam besar di tanah air ini yakni MUI, NU,
Muhammadiyyah, dan PERSIS. Dalam hal ini metode muqaran dirasa sangatlah tepat
untuk mengungkap hal tersebut. Terdapat sisi persamaan dan perbedaan yang
menarik untuk dikaji dan disampaikan, bukan menjadi saling menjatuhkan akan
tetapi menjadi saling menguatkan satu samaliannya.
Keyword ; Ijtihad, Penetapan hukum, MUI, NU,
Muhammadiyyah dan PERSIS
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta
salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini merupakan ikhtisar
materi salah satu bab dalam mata kuliah Ilmu Hadis yang dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah tersebut. Makalah ini mengambil judul Ijtihad
dan penetapan hukum di ormas-ormas Islam Indonesia, MUI, NU, Muhammadiyyah, dan
Persis.
Dalam menyusun dan
penulisan makalah ini kami sadar akan segala kekurangan dan keterbatasannya.
Untuk itu kami mengharapkan masukan, kritik dan saran yang membangun dan
konstruktif agar penyusunan makalah ini lebih sempurna dimasa yang akan datang.
Kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan bagi kami khususnya dan
bagi pembaca umumnya.
PENDAHULUAN
Metodologi
Istinbat adalah cara pengambilan keptusan hukum dengan pedoman-pedoman berupa
kaidah-kaidah atau ta'rif-ta'rif
tertentu yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Para ulama ahli yang
berkompeten dalam bidang ini telah bersusah payah mencurahkan segenap kemampuan
dan usaha, memeras daya nalar dalam mengkaji Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dikaji
pula berbagai bahan yang diperlukan, baik dari kisah-kisah para nabi dan
orang-orang terdahulu, situs-situs sejarah, Bahasa-bahasa yang digunakan, dan
lain sebagainya. Hal ini dilakukan mereka demi mendapatkan pedoman-pedoman yang
diperlukan. Dari jerih payah mereka itu lahirlah Al-Qawaid Al-Mu'tabarah
(kaidah-kaidah yang baku dan diakui) dan rumusan-rumusan masalah bahkan
contoh-contoh fatwa yang menjadi bahan pertimbangan atau menjadi panduan.
Pendalam terhadap
disiplin ilmu-ilmu ini merupakan hal yang mesti bagi para ulama mujtahidin,
yaitu mereka yang senantiasa mencurahkan kesungguhan dan kemampuannya, dan
nalar mereka dalam mengkaji dan menggali nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadis,
secara lafal perlafal atau kalimat perkalimat. Bahkan keserasian antar ayat
dana tau dengan nash-nash hadis. Hal ini tentunya agar menghasilkan
keputusan-keputusan hukum yang tepat sesuai dengan Maqasid asy-Syar'i.
Kejadian-kejadian
yang terjadi pada masa rasulullah saw. tentu akan menjadi acuan bagaimana para
mujtahid harus memeras nalar mereka agar mendapatkan hukum yang dibutuhkan.
Begitupula kejadian-kejadian di masa para sahabat dan generasi selanjutnya,
tentu menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan dalam melakukan ijtihad untuk
menghasilkan hukumdai kejadian-kejadian sesuai dengan zaman masing-masing
generasi.
Para ulama
sebagai Waratsatul Anbiya telah menanam
pohon subur dalam memelihara Al-Qur'an dan As-Sunnah dari segala parasitnya.
Jika Allah menghendaki pohon itu akan senantiasa berbuah karena dilanjut oleh
para pelanjut mereka. Pada waktunya mereka akan melakukan panen besar karena
amal-amal mereka yang maqbulah. Amin yaa rabbal 'alamin.
I.
POKOK PEMBAHASAN
A. IJTIHAD DAN
PENETAPAN HUKUM ORMAS MUI, NU, MUHAMMADIYYAH DAN PERSIS (PERSATUAN ISLAM)
1. ORMAS MUI
Dasar utama yaitu Al-Qur'an dan Hadis
1. Jika tidak
ditemukan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, hendaklah tidak bertentangan dengan
Ijma', Qiyas, dan lain-lain.
2. Sebelum fatwa
diputuskan, penelusuran data dengan merujuk pada pendapat Imam Madzhab
terdahulu.
3. Ketika terjadi
masail khilafiyyah di kalangan madzhab, maka ;
@
-
Menggabungkan dan menyesuaikan persamaan.
@
-
Menguatkan satu pendapat
-
Pendapat yang memiliki dasar paling kuat dan maslahat
paling besar untuk umat akan dipilih sebagai keputusan fatwa.
@
Jika tidak ditemukan pendapat hukum dikalangan
madzhab/ ulama yang muktabar, maka dengan ijtihad kolektif melalui metode
bayaniy, ta'liliy (qiyas, ilhaqiy, istishlahiy, dan sadd adz-dzara'i.)
4. Mempertimbangkan
pandangan tenaga ahli dibidangnya.
2. 2. ORMAS NU [1]
A. Dasar Hukum
Al-Qur'an dan As-Sunnah
Langkah-langkah
penetapan hukumnya ;
@ Aqwal Mujtahidin
(khususnya Syafi'iyyah)
(bila
ditemukan qaul mansus (pendapat yang telah ada nashnya), maka itulah yang
dipegang).
a. Prosedur
pemilihan qaul/ wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa qaul
dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan sebagai berikut ;
a.1. dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan
atau lebih kuat.
a.2. sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan
Muktamar I tahun 1926, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan cara
memilih ;
- pendapat
yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan Al-Rafi'i)
- Pendapat
yang dipegangi oleh al-Nawawi.
- Pendapat
yang dipegangi oleh al-Rafi'i.
- Pendapat
yang didukung oleh mayoritas ulama
- Pendapat
ulama yang terpandai.
- Pendapat
ulama yang paling wara'.
Sebagai
contoh :
لا ولاية لفاسق على المذهب) قال المحلي والقول الثاني أنه
يلي لأنّ الفسقة لم يمنعوا من التزويج في عصر الأول.
Orang fasiq tidak boleh jadi wali menurut madzhab
(syafi'I, yang pertama) sedangkan menurut Al-Mahalli, pendapat kedua, bahwa orang
fasiq boleh menjadi wali, karena orang-orang fasiq pada masa awal islam tidak
dilarang untuk mengawinkannya." Lihat Al-Qalyubi 'ala Al-Mahalli fii
Bab wilayati An-Nikahi, Juz ; III.
Dari contoh di atas dapat
difahami bahwa metode yang digunakan dalam Bahtsul Masail adalah dengan cara
mengacu kepada Qaul (bunyi teks) dari kitab-kitab mazhab empat . dan karena itulah
disebut metode Qauliy.
@ Metode Ilhaqiy
Apabila
qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari
kitab mu'tabar, maka yang dilakukan adalah apa yang disebut dengan ilhaq
al-masail bi nazhaariha yakni menyamakan hukum suatu kasus/ masalah yang belum
dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/ masalah serupa
yang telah dijawab oleh kitab (telah ada keteapan hukumnya), atau menyamakan
dengan pendapat yang sudah jadi.
Salah satu
contoh penggunaan metode ilhaqi adalah keputusan Muktamar NU ke 2 di Surabaya
tanggal 12 Rabi' al-Tsani 1346 H/ 9 oktober 1927 tentang memakai pen dari emas.
Sebagai berikut ;
"Hukum
memakai pen emas adalah haram. Karena termasuk larangan memakai bejana dari
emas, seperti tempat celak (mirwad). Demikian ini menurut mazhab Syafi'i.
tetapi dalam mazhab Hanafi, terdapat pendapat yang memperbolehkannya. Oleh
karenanya para pemakai tempat celak supaya mengikuti pendapat tersebut (Mazhab
Hanafi) supaya terhindar dari hukum haram."
@ Metode Manhajiy
Metode manhaji adalah suatu cara
menyelsaikan masalah keagamaan yang ditempuh dalam Bahtsul Masail dengan
mengikuti jalan fikiran dan kaidah-kaidah peneptapan hukum yang telah disusun
imam mazhab. Sebagaimana metode Qauliy dan Ilhaqiy.
Jawaban terhadap permasalahan
yang dikaji dalam nahtsul masail yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab
ataupun memberikan suatu argumentasi detail, setelah tidak dapat dirujukkan
kepada teks suatu kitab mu'tabar maka digunakanlah metode manhaji dengan
mendasarkan jawaban mula-mula pada Al-Qur'an, setelah tidak ditemukan
jawabannya dalam Al-Qur'an lalu pada hadis dan begitu seterusnya yang akhirnya
sampailah pada jawaban dari kaidah fiqhiyah.
Penggunaan metode manhaji ini
adalah keputusan muktamar NU Ke 2 di Surabaya tanggal 12 Rabi' al-Tsani 1346 H/
9 oktober 1927
3. 3. ORMAS MUHAMMADIYYAH[3]
Asas utama yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah
a. Memahami Dalil
Al-Qur'an dan As-Sunnah secara terpadu
-
Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan hukum dilakukan
dengan konprehensif, utuh, bulat dan tidak terpisah-pisah.
(maksud
dari rumusan tersebut adalah bahwa mencari hukum suatu masalah kita harus
mengumpulkan dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah yang kita cari
ketentuan hukumnya, baik dari ayat maupun dari hadis. Kita hindari penggunaan
dalil yang hanya dari Al-Qur'an saja, sedangkan ada As-Sunnah yang berkaitan
dengan masalah tersebut. Kita hindari pula pengambilan dalil yang hanya
sepotong-sepotong, atau satu-dua dalil yang langsung, padahal ada dalil yang
tidak langsung yang relevan dengan permasalahan yang dicari hukumnya, yang
dalil tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan. Demikian pula kita hindari
penggunaan dalil yang mengandung perintah saja, padahal ada dalil yang
mengandung larangan atau kebolehan.
Contoh
yang pertama ;
عن عَائِشَةُ عن رسول الله
ﷺ أنه قال: أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا
عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ.
Dari Aisyah dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bahwa ia bersabda : yang paling pedih siksaan di
sisi Allah pada hari kiamat yaitu orang-orang yang menyamakan ciptaanya dengan
ciptaan Allah. Hr. Bukhari-Muslim.
Hadis serupa
yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim pula, menyatakan bahwa pembuat patung
atau gambar di hari kiamat nanti disiksa.
Di samping
hadis di muka, kita dapati pula hadis yang diriwayatkan oleh muslim dari Aisyah
ra. Yang menerangkan, bahwa setelah gambar itu dikoyak dan dijadikan sesuatu
yang tidak mendorong diagungkan, Nabi saw. diam (tidak menegurnya) ;
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ
تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ
سَتَرْتُ سَهْوَةً لِي بِقِرَامٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ فَلَمَّا رَآهُ هَتَكَهُ
وَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ وَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ
اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ قَالَتْ
عَائِشَةُ فَقَطَعْنَاهُ فَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ.
Dari ['Abdurrahman bin Al Qasim]
dari [Bapaknya] bahwa dia mendengar ['Aisyah] berkata; "Pada suatu ketika,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah masuk ke kamar saya, sedangkan
pada saat itu saya menutup rak lemari milik saya dengan kain tipis yang
bergambar. Ketika melihat gambar itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
langsung merobeknya, dan raut wajah beliau berubah seraya berkata: 'Hai Aisyah,
orang yang paling pedih siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat kelak adalah
orang yang membuat sesuatu yang serupa dengan ciptaan Allah. Aisyah berkata;
'Aku pun memotongnya dan kain itu aku buat satu bantal atau dua bantal. Hr.
Muslim : 3937.
b. Metode
Ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur'an
- Ijtihad
Bayani
@ Bayan Taqrir ; Penjelasan dalam
rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain, yang memberikan
tambah jelasnya yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkapan
dalam nash atau dalil.
@ Bayan Tafsir ; penjelasan suatu
lafal atau kata-kata sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.
@ Bayan Taghyir ;
Keterangan-keterangan yang mengubah dari makna zahir menjadi makna yang dituju,
seperti kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna. Dalam hal ini,
usaha yang dilakukan adalah mencari mukhasis dari makna yang umum tadi.
@ Bayan Tabdil ; Usaha mencari
penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah asa nasikh Mansukh
dalam hokum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
@ Bayan Dlarurah ; keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak
boleh tidak harus diungkapkan. Bayan itu tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu
yang didiamkan.
- Ijtihad
Qiyasi
Ialah usaha yang sungguh-sungguh untuk menentukan sesuatu
masalah yang belum ada ketentuan nashnya, berdasarkan kesamaan illah.
- Ijtihad Istislahi
Ialah mencari ketentuan hukum sesuatu masalah yang tidak
ada ketentuan nashnya, dengan mendasarkan pada kemaslahatan yang akan dicapai.
c.
Metode Memahami Hadis
-
Mendahulukan nash daripada akal
-
Dalam memahami nash musytarak, paham sahabat dapat diterima.
-
Dalam memahami nash, ma'na dhahir didahulukan dari pada
ta'wil dalam bidang aqidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal itu tidak harus
diterima.
D. Ijtihad dan Istinbat
- Ijtihad Jama'iy
-
Tidak terikat Madzhab
(tidak
mengikatkan diri kepada sesuatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat imam madzhab dalam menetapkan hokum dapat
diterima, sepanjang sesuai jiwa al-Qur'an dan As-Sunnah atau dasar-dasar lain
yang dipandang kuat.)
-
Melakukan jam'u dan taufiq untuk permasalahan yang
ta'arudl dengan cara;
@ Mementukan yang satu sebagai
mukhashish (mengkhususkan) terhadap dalil yang 'am (umum).
@ Dengan cara taqyid dan mutlaq
(membatasi pengertian yang luas)
@ Menentukan pengertianmasing-masing
dari dua dalil yag berlainan.
@ Menetapkan masing-masing pada
hukummasalah berbeda.
-
Saddu adz-Dzara'i "(untuk menghindari terjadinya
fitnah dan mafsadah")
4. 4. ORMAS PERSATUAN
ISLAM (PERSIS)[4]
A. Asas utama yaitu
Al-Qur'an dan As-Sunnah
1. Rumusan dalam
ber-Istidlal dengan Al-Qur'an sebagai berikut ;
a. Mendahulukan
makna zahir Al-Qur'an dari pada ta'wil dan memilih cara-cara tafwid dalam hal
yang menyangkut masalah I'tiqadiyyah (akidah). Seperti ayat ;
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang
bersemayam di atas 'Arsy. Qs. Thaaha : 5.
b. Menerima dan
meyakini isi kandungan Al-Qur'an sekalipun tampaknya bertentangan dengan 'aqliy
dan 'adiy, seperti peristiwa Isra dan Mi'raj dalam firman Allah Swt. berikut ;
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke
Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Qs. Al-Israa : 1.
c. Menerima makna
haqiqi dari pada makna majazi, kecuali jika ada qarinah, seperti kalimat ;
" Au laamastumun nisaa" dengan pengertian bersebadan, dalam firman
Allah Swt. :
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan,…. Qs. An-Nisaa : 43.
Maksud dari menyentuh perempuan pada ayat ini adalah
sebadan (jimak).
d. Apabila ayat
Al-Qur'an tampaknya bertentangan dengan hadis bila tidak ditemukan jalan untuk
dijama', maka didahulukan ayat Al-Qur'an.
e. Menerima adanya
ayat-ayat nasikh dalam Al-Qur'an tetapi tidak menerima adanya ayat-ayat yang
Mansukh.
f. Menerima tafsir
dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an (tidak hanya penafsiran
Ahlu Al-Bait), dan mebgambil penafsiran para sahabat yang lebih ahli seperti
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud, Jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan
sahabat.
g. Mengutamakan
tafsir bi Al-Ma'tsur dari padatafsir bi Al-Ra'yi (akal/logika)
h. Dalam penasiran
Al-Qur'an lebih mendahulukana mantuq daripada mafhum serta menggunakan kaidah
usuliyyah lughawiyyah dan kaidah fiqhiyyah.
2. Rumusan dalam
ber-istidlal dengan As-Sunnah sebagai berikut :
a. Menggunakan hadis
sahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
b. Menerima kaidah ;
الأحاديث الضعيفة يقوي بعضها بعضا
"Hadis-hadis
dha'if bisa menguatkan satu sama lain."
Dengan
catatan apabila sebab dha'ifnya dari segi dabt (karena su'ul hifzi dan
mukhtalit) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadis lain
yang sahih. Adapun jika sebab dha'ifnya itu dari segi 'adalah seperti kazzab
(pendusta), yadha'ul hadis (memalsukan hadis), fisqu Al-Rawi, atau matruk
(tertuduh dusta), begitu juga dari segi dabtnya sangat parah, seperti katsirul
ghalath/ khatha, katsrirul gaflah, maka kaidah tersebut tidak dipakai. Sebagai
contoh hadis berikut :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى يَعْنِي
الْمَخْزُومِيَّ عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ
لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ
عَلَيْهِ
HR. Ahmad : 9418.
Menurut syekh Syu'aib Al-Arna'ut " Sanad hadisini
dha'if disebabkan ke majhulan Ya'qub bin Salamah Al-laisi dan bapaknya, lalu
dalam ke muttasilannya mesti diteliti kembali. Al-Bukhari mengatakan,
"pen-sima'an Salamah dari Abu Hurairah begitu juga Ya'qub dari bapaknya
tidak dikenal.
c. Tidak menerima
kaidah :
الحديث الضعبف
يعمل في فضائل الأعمال
"hadis dha'if dapat diamalkan dalam
hal keutamaan amal."
Karena keutamaan amal juga termasuk sendi-sendi agama
yang harus berdasarkan hadis shahih. Masih banyak hadis-hadis sahih yang
menunjukkan tentang keutamaan amal.
d. Menerima hadis sebagai tasyri' (penetapan syari'at)
yang mandiri, sekalipun tidak merupakan bayan dari Al-Qur'an, seperti dalam
masalah akikah dan kepengurusan jenazah.
e. Menerima hadis Ahad sebagai dasar hukum selama hadis
tersebut sahih atau hasan, termasuk masalah-masalah yang menyangkut akidah.
f. Hadis mursal shahabiy dan mauquf bi hukmil marfu'
dipakai sebagai hujjah selama sanad hadis tersebut shahih atau hasan dan tidak
bertentangan dengan hadis shahih lainnya.
g. hadis mursal tabi'iy dijadikan hujjah apabila hadis
tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ittishal-nya hadis tersebut.
h. Menerima hadis-hadis sebagai bayan terhadap Al-Qur'an.
i. Menerima kaidah ;
الصحابة كلهم عدول
" sahabat-sahabat nabi semuanya
dinilai 'adil (dalam periwayatan hadis)"
j. Riwayat orang yang tsiqat tetapi melakukan tadlis
dapat diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu jelas sigat
thuruq tahammul dan sigat al-ada-nya yang menunjukkan ittishal (tersambung/
menerima scara langsung), seperti menggunakan kata "haddatsanii"
k. Menerima kaidah ;
الجرح مقدم على
التعديل
" Anggapan jarh (cacat terhadap
seorang perawi) harus didahulukan daripada anggapan 'adil/ tsiqat."
Dengan ketentuan sebagai berikut :
@
Jika yang
men-jarah menjelaskan sebab jarh-nya (mufassar), maka yang menjarh didahulukan
daripada ta'dil.
@
Jika yang
menjarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya (mujmal), maka didahulukan ta'dil dari
pada jarh.
@
Jika yang
menjarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya (mujmal), tetapi tidak ada seorang pun
yang menyatakan tsiqat (men-ta'dil-nya) maka jarh-nya bisa menerima.
B. Asas kedua selain dengan Al-Qur'an san As-Sunnah
Mempertimbangkan Ijma, Qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab,
syar'u man qablana, saddu adz-Dzari'ah, qaul sahabiy dan 'urf dengan
rumusan-rumusan sebagai berikut ';
a. Tidak menerima ijma' secara mutlak kecuali ijma'
sahabat.
b. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdah, dan
menerima qiyas dalam masalah ibadah ghair mahdah selama memenuhi persyaratan
qiyas.
c. Menerima qaidah-qaidah, maslahah mursalah, istishab,
saddu adz-Dzari'ah, qaul sahabiy dan 'urf.
C. Memecahkan Ta'arud Al-'Adillah
Dalam memecahkan dalil-dalil yang dianggap bertentangan yang sama-sama
kuat, terlebih dahulu diupayakan dengan cara ;
a. Thariqatu Al-Jam'i, selama masih dapat dilakukan,
yaituj dengan cara mencari makna dan menyerasikan diantara keduanya.
b. Thariqatu An-Nasakh, bila didapatkan tarikh waktu
kejadian; kejadian yang terdahulu Mansukh dan kejadian yang terkemudian sebagai
nasakhnya.
c. Thariqatu At-Tarjih, bila tidak dapat dilakukan
thariqatu Al-Jam'i dan An-Nasakh, dengan menilik secara cermat berbagai
aspeknya, baik sanad maupun matan ;
c.1. Aspek Sanad, misalnya :
c.1.1.
Tabaqat sahabat yang menjadi sumber berita, apakah ia shahibu al-waqi'ah (pelaku
kejadian) atau sumber kedua yang menerima berita dari orang lain. Maka shahibu
al-waqi'ah lebih didahulukan dari yang lainnya.
c.1.2 Bila keduanya shahibu al-waqi'ahn (pelaku
kejadian), maka tabaqat (tingkatan) sahabat yang lebih tinggi lebih didahulukan.
Termasuk menilik tabaqat rawi-rawi dibawahnya bila diperlukan.
c.1.3 Mendahulukan riwayat Muttafaq 'alaih
daripada yang lainnya.
c.1.4 Mendahulukan hadis riwayat Bukhari dari pada
Muslim kecuali
pada kasus-kasus tertentu dengan
qarinah lain. Seperti dalam pernikahan Nabi saw dengan Siti Maimunah, dan sa'I setelah
tawaf ifadah.
c.1.5 Mendahulukan riwayat Muslim dari pada
lainnya.
c.1.6 Pada
kasus tertentubanyak dan sedikitnya jalan periwayatan dapat menjadi pertimbangan.
c.2 Aspek Matan, misalnya :
c.2.1 Mendahulukan yang Musbit daripada yang
Nafiy
c.2.2 Mendahulukan yang khas (khusus)
daripada yang 'am (umum).
c.2.3
Mendahulukan makna hakiki daripada makna majazi, terkecuali dalam kasus
tertentu makna majazi yang harus dipergunakan
c.2.4 Mendahulukan sbda (qauliy)
daripada perbuatan (fi'liy).
d. Tariqatu at-Tawaqquf, bila ketiga jalan di atas telah
ditempuh, yaitu Tariqatu al-Jam'i, Tariqatu An-Nasakh, dan Tariqatu At-Tarjih
tetapi tidak menghasilkan istinbat hukum yang dicari, maka dalil-dalil yang
tampak bertentangan itu ditangguhkan sementara waktu.
II.
KESIMPULAN
@ MUI pokok ijtihad dan
penetapan hukumnya dengan metode gabungan antara Qauliy dan Manhaji
@ NU pokok ijtihad dan
penetapan hukumnya dengan metode Qauliy
@ Muhammadiyyah pokok ijtihad dan
penetapan hukumnya dengan metode Manhaji
@ PERSIS pokok ijtihad dan
penetapan hukumnya dengan metode Manhaji
[1]
Dr. Ahmad Muhtadi Anshor, M.Ag., BAHTH AL-MASAIL NAHDLATUL ULAMA,
Melacak Dinamika Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, Penerbit Teras. Cet
I, 2012.
[3] Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyyah, Pustaka Pelajar. cet. th.2022.
[4] Dewan Hisbah Persatuan Islam. Thuruq Al-Istinbat Metodologi Pengambilan Hukum, Persis Pers.
Komentar
Posting Komentar