Kritikan untuk Jumhur dari Sejumlah Ulama hadis dan Fiqih tentang Makmum Masbuq dapat Rukuk dapat Satu Raka’at
Oleh : ABU FATWA
ALBANI SYAM
(SAMSUDIN MUKTI)
Jumhur ulama
berpendapat bahwa makmum masbuq yang sempat mandapatkan rukuknya imam pada raka’at
pertama sudah dihitung satu rakaat sehingga tidak usah menyempurnakan atau
menambah satu raka’at lagi di akhir shalatnya.
Akan tetapi ada sejumlah
ulama yang tidak sependapat dengan hal tersebut bahkan membantah argumen-argumen
jumhur dengan argumen mereka yang sulit terbantahkan. Adapun ulama-ulama
tersebut yaitu Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Adh-Dhiba’i, dan yang lainnya dari
para muhadisin madzhab Syafi’iyyah, Ibnu Hazm dan sejumlah ulama-ulama
mutaqaddimin. Pendapat ini dipilih oleh Imam Taqiyuddin As-Subkhi, dan
Al-Hafiz Al-Iraqi serta yang lainnya dari kalangan ulama mutaakhirin.[1]
Berikut pemaparannya ;
Hujjah (argument) yang digunakan oleh jumhur
1.
Hr. Abu Daud : 759. Ibnu Khuzaimah ; 1622. Al-Hakim, Al-Mustadrak : 783. Baihaqi, Sunan Al-Kubra ;
2407.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْحَكَمِ حَدَّثَهُمْ
أَخْبَرَنَا نَافِعُ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ
زَيْدِ بْنِ أَبِي الْعَتَّابِ وَابْنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ شَيْئًا وَمَنْ
أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Telah menceritakan kepada
kami [Muhammad bin Yahya bin Faris] bahwa [Sa'id bin Al Hakam] telah
menceritakan kepada mereka, telah mengabarkan kepada kami [Nafi' bin Yazid]
telah menceritakan kepadaku [Yahya bin Abu Sulaiman] dari [Zaid bin Abu Al
'Attab] dan [Ibnu Al Maqburi] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian datang untuk
menunaikan shalat, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka ikutlah bersujud,
dan janganlah kalian menghitungnya satu raka'at, dan barangsiapa mendapatkan rukuk,
berarti dia telah mendapatkan shalat.
Titik
pertengkaran pendapatnya terletak pada :
A. Kalimat
“ الرَّكْعَةَ “ Jumhur ulama memaknainya secara majazi yang artinya “rukuk”.
Sedangkan ulama-ulama yang tidak sefaham dengannya memaknai kalimat tersebut secara
hakiki yang artinya “satu raka’at”
B. Kalimat
“ الصَّلَاةَ”
Jumhur memaknainya dengan arti “raka’at”. Sebagaimana kata Al-‘Azhim
Abadi ;
قَالَ ابْنُ
رُسْلَانَ : المرَادُ بِالصَّلاَةِ هُنَا الرَّكْعَةُ
Berkata Ibnu
Ruslan : yang dimaksud dengan Ash-Shalat di sini yaitu raka’at.[2]
Sedangkan ulama yang lainnya
menetapkan kalimat shalat dengan makna aslinya yaitu “shalat”. Dan inilah pendapat yang rajih karena
makna hakikatnya.
Jika disimpulkan penerjemahan versi jumhur akan menjadi seperti ini ; “ dan barangsiapa mendapatkan rukuk, berarti dia telah mendapatkan raka’at.
Sedangkan penerjemahan versi ulama selain jumhur akan menjadi seperti ini ;”dan barangsiapa mendapatkan raka’at, berarti dia telah mendapatkan shalat.
Kritikan-kritikan ;
Berkata Al-‘Allamah Abu Ath-Thayyib
;
( وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَة ) : قِيلَ الْمُرَاد بِهِ
هَاهُنَا الرُّكُوع فَيَكُون مُدْرِك الْإِمَام رَاكِعًا مُدْرِكًا لِتِلْكَ
الرَّكْعَة ، وَفِيهِ نَظَر لِأَنَّ الرَّكْعَة حَقِيقَة لِجَمِيعِهَا ،
وَإِطْلَاقهَا عَلَى الرُّكُوع وَمَا بَعْده مَجَاز لَا يُصَار إِلَيْهِ إِلَّا
لِقَرِينَةٍ كَمَا وَقَعَ عِنْد مُسْلِم مِنْ حَدِيث الْبَرَاء بِلَفْظِ :
فَوَجَدْت قِيَامه فَرَكْعَته فَاعْتِدَاله فَسَجْدَته ، فَإِنَّ وُقُوع
الرَّكْعَة فِي مُقَابَلَة الْقِيَام وَالِاعْتِدَال وَالسُّجُود قَرِينَة تَدُلّ
عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِهَا الرُّكُوع ، وَهَاهُنَا لَيْسَتْ قَرِينَة تَصْرِف
عَنْ حَقِيقَة الرَّكْعَة ، فَلَيْسَ فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ مُدْرِك الْإِمَام
رَاكِعًا مُدْرِك لِتِلْكَ الرَّكْعَة .
Artinya
:
(
وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَة ) : katanya yang dimaksud dengan “ar-rok’ata”
di sini yaitu rukuk. Jadi yang mendapatkan rukuknya imam berarti mendapatkan satu
raka’at, akan tetapi (pada pemaknaan) seperti itu perlu ditinjau kembali karena
justru raka’at itu hakikatnya mencakup rukuk. Serta penyebutan ar-rak’at dengan
makna rukuk itu adalah majazi yang tidak bisa dijadikan makna seperti itu
melainkan harus ada qarinah sebagaimana yang terdapat pada riwayat Muslim dari hadis
Al-Barra dengan lafaz ; "maka aku dapati qiyamnya, rukuknya (rak’atahu),
i’tidalnya, dan sujudnya."
Maka
adanya (penyebutan) ar-rak’at (yang diartikan rukuk) itu biasanya suka
dihadapkan dengan kata qiyam, i’tidal, dan sujud, sebagai qarinah menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan ar-rak’at di sana adalah rukuk. Akan tetapi pada
hadis ini (di atas) tidak ada qarinah yang memalingkan dari makna hakikat
raka’at (kepada rukuk). Maka (hadis) tersebut tidak bisa jadi dalil bahwa
mendapatkan imam sedang rukuk sama dengan mendapatkan satu raka’at .[3]
Apalagi
status hadis tersebut dha’if, karena pada sanadnya terdapat rawi bernama Yahya
bin Abi Sulaiman. Dia didha’ifkan oleh para ulama hadis. berikut penilaian
ulama-ulama terhadap Yahya ;
Berkata Bukhari : Munkarul Hadis (diingkari hadisnya). Berkata Abu hatim : Mudhtharibul Hadis (hadisnya tidak konsisten), bukan rawi tsiqat, dicatat hadisnya.[4]
Kemudian jumhur menyodorkan dalil penguat untuk hadis di atas sekaligus sebagai qarinah untuk kalimat “ar-rak’at” yang mau diartikan rukuk. Dengan hadis ;
أنا عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْغَافِقِيُّ، ثنا ابْنُ
وَهْبٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ فَقَدْ
أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ»
Telah mengabarkan kepada kami Isa
bin Ibrahim Al-Ghafiqi, telah menghadiskan kepada kami Ibnu wahb, dari Yahya
biin Humaid, dari Qurrah bin Abdurrahman, dari Ibnu Syihab berkata ; telah
mengabarkan kepadaku Ab Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ; siapa yang mendapati satu
rak’ah (rukuk) dari shalat makai ia telah mendapatkan raka’at sebelum imam menegakkan
punggungnya. Hr. Ibnu Khuzaimah : 1595. Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra : 2678.
Kritikan dan bantahan
Hanya saja hadis ini dha’if pula. Alasannya ;
a. Pada
sanadnya terdapat Yahya bin Humaid.
- Berkata
Al-‘Uqaili : telah menceritakan kepadaku Adam bin Musa berkata ; aku
mendengar Al-Bukhari berkata ; Yahya bin Humaid dari Qurrah tidak ada tabi’.
[5]
- Berkata Ibnu
‘Adi : Aku mendengar Ibnu Hammad berkata : telah berkata Al-Bukhari ; Yahya
bin Humaid dari Qurrah dari Ibnu Syihab ia mendengar Ibnu Wahb, Yahya orang
Mesir tidak ada tabi’ (yang mengikuti) hadisnya.[6]
- Berkata Al-Hafiz Ahmad bin Shadiq Al-Ghamari : Yahya
bin Humaid rawi majhul tidak bisa dipegang atas hadisnya.[7]
b. Bahwa pada matannya terdapat ziyadah (tambahan)
redaksi
“ قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ ” yang mana
membedai dari matan hadis sebelumnya yang diriwayatkan melalui rawi dha’if
Yahya bin Abi Sulaiman. Dengan demikian hadis ini masuk kategori hadis munkar.
Mengenai hal
ini Al-Baihaqi juga memberi komentar sebagai berikut ;
قَالَ أَبُو أَحْمَدَ : هَذِهِ الزِّيَادَةُ :« قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ
الإِمَامُ صُلْبَهُ ». يَقُولُهَا يَحْيَى بْنُ حُمَيْدٍ وَهُوَ مِصْرِىٌّ. {ج}
قَالَ أَبُو أَحْمَدَ سَمِعْتُ ابْنَ حَمَّادٍ يَقُولُ قَالَ الْبُخَارِىُّ :
يَحْيَى بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قُرَّةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ سَمِعَ مِنْهُ ابْنُ
وَهْبٍ مِصْرِىٌّ لاَ يُتَابَعُ فِى حَدِيثِهِ.
Artinya ;
Berkata Abu Ahmad ; tambahan ini : قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَه dikatakan oleh Yahya bin Humaid dia orang Mesir. Berkata Abu Ahmad : aku mendengar Ibnu Hammad mengatakan ; telah berkata Al-Bukhari : Yahya bin Humaid dari Qurrah, dari Ibnu Syihab, yang mendengar darinya Ibnu Wahb orang Mesir tidak diikuti (tidak ada tabi’) pada hadisnya.[9]
Dengan demikian, kesimpulan dari argumen pertama dan kedua yang digunakan oleh jumhur ternyata hadis-hadisnya lemah tidak bisa dijadikan hujjah. Bila dipaksakan pula akan menjadi rancu karena bagaimana mungkin hanya dengan sekedar mendapati rukuknya imam dapat dihitung satu raka’at sedangkan pada saat itu ada rukun lainnya yang terlewat seperti takbiratul ihram, qiyam, dan baca fatihah yang kesemuanya itu hukumnya wajib. Karena inilah Asy-Syaukani mengkritik pedas dalam kitabnya Nailul Authar Syarh Muntaqa Al-Ahbar, dan Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar”. Sebagaimana berikut ;
Kritikan Asy-Syaukani terhadap jumhur Ketika
pembahasan tentang hukum bacaan makmum dan diamnya Ketika mendengar bacaan
imam.
وَمِنْ هَهُنَا
يَتَبَيَّنُ لَك ضَعْفُ مَا ذَهَبَ إلَيْهِ الْجُمْهُورُ أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ
الْإِمَامَ رَاكِعًا دَخَلَ مَعَهُ وَاعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ وَإِنْ لَمْ
يُدْرِكْ شَيْئًا مِنْ الْقِرَاءَةِ.
Dari sini nyatalah bagimu lemahnya apa yang
dijadikan pendapat jumhur bahwa makmum yang mendapati imam sedang rukuk lalu ia
masuk meyertai rukuknya imam, maka dihitung satu raka’at walaupun ia tidak
mendapati bacaan fatihah sedikit pun.[10]
Kritikan Ibnu Hazm terhadap
masalah ini ;
وَصَحَّ عَنْهُ أَيْضًا عَلَيْهِ السَّلامُ: " مَا
أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا " وَبِيَقِينٍ يَدْرِي
كُلُّ ذِي حِسٍّ سَلِيمٍ -:
- أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الإِمَامَ فِي أَوَّلِ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ: فَقَدْ
فَاتَتْهُ الأُولَى كُلُّهَا.
- وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ الأُولَى: فَقَدْ فَاتَتْهُ وَقْفَةٌ، وَرُكُوعٌ، وَرَفْعٌ، وَسَجْدَةٌ، وَجُلُوسٌ،
- وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الْجَلْسَةَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: فَقَدْ فَاتَهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ، وَالرَّفْعُ، وَسَجْدَةُ.
- وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الرَّفْعَ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ،
وَالرُّكُوعُ. وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ السَّجْدَتَيْنِ: فَقَدْ فَاتَتْهُ
الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ.
- وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ،
وَقِرَاءَةُ أُمِّ الْقُرْآنِ؛ وَكِلاهُمَا فَرْضٌ، لا تُتِمُّ الصَّلاةُ إلا بِهِ
وَهُوَ مَأْمُورٌ بِنَصِّ كَلامِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
بِقَضَاءِ مَا سَبَقَهُ وَإِتْمَامِ مَا فَاتَهُ؛ فَلا يَجُوزُ تَخْصِيصُ شَيْءٍ
مِنْ ذَلِكَ بِغَيْرِ نَصٍّ آخَرَ؛ وَلا سَبِيلَ إلَى وُجُودِهِ !
Dan telah shahih juga riwayat darinya Shallallahu alaihi wasallam bahwa
; “apa-apa yang kalian dapati dari imam maka shalatlah, dan apa-apa yang
kalian tertinggal maka sempurnakanlah.”.
(hadis ini) secara yakin akan difahami oleh setiap orang yang memiliki
perasaan sehat ;
-
Bahwa makmum yang mendapati imam
pada awal raka’at kedua, tentulah ia telah terlewat raka’at pertama seluruhnya.
-
Bahwa makmum yang mendapati sujud
awal raka’at kedua, tentulah ia telah terlewat wuquf (berdiri), rukuk, bangkit
dari rukuk (I’tidal), sujud, dan duduk diantara dua sujud.
-
Bahwa makmum yang mendapati dari
duduk diantara dua sujud, tentulah ia telah terlewat berdiri, rukuk, bangkit
(I’tidal) dan sujud.
-
Bahwa makmum yang mendapati dari
I’tidal, tentulah ia telah terlewat berdiri, dan rukuk.
-
Bahwa makmum yang mendapati dua
sujud, tentulah ia telah terlewat berdiri, dan rukuk.
-
Bahwa makmum yang mendapati
rukuk, tentulah ia telah terlewat berdiri, bacaan Fatihah, yang keduanya adalah
wajib yang tidak akan sempurna shalat kecuali dengannya. Dan itu diperintah
melalui nash sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk dilakukan
apa-apa yang terdahuluinya dan disempurnakan apa-apa yang terlewat. Maka
tidaklah boleh ada pengkhususan sedikit pun dari itu tanpa ada nash yang lain,
dan tidak ada jalan untuk adanya (takhsish) ![11]
Masih dari Ibnu Hazm, ia
mengatakan :
Adapun sabda
nabi shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ
أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barangsiapa mendapatkan
satu rakaat dari shalat berarti dia telah mendapatkan shalat."Hr.
Bukhari : 546.
Hadis ini adalah benar, bahkan hadis ini justru menghujjat mereka.
Karena dengan demikian tidak akan menggugurkan untuk menunaikan apa-apa yang
terlewat dari rukun shalat, ini tidak ada seorang pun yang berbeda. Karena pada
hadisnya juga tidak dikatakan “barangsiapa yang mendapatkan rukuk, maka
sungguh telah mendapatkan rakat.[12]
Selanjutnya
jumhur berhujjah dengan hadis Abu Bakrah r.a sebagai berikut;
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ
أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
Dari [Abu Bakrah], bahwa dia
pernah mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang rukuk, maka dia pun
ikut rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan
kejadian tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam lalu bersabda: "Semoga Allah menambah semangat kepadamu,
namun jangan diulang kembali." Hr. Bukhari : 741. Abu Daud : 585, 586.
Nasai : 861. Ahmad : 1951, 19604.
Pada riwayat ini
tidak diterangkan bahwa Abu Bakrah diperintah untuk mengulang raka’at, maka
disimpulkanlah dengan mendapati rukuk bersama imam itu mencukupi satu raka’at.
Kritikan dan bantahan
Asy-Syaukani
membantah, tidak ada pada hadis tersebut yang menjadi dalil atas pendapat
jumhur, karena sebagaimana tidak ada perintah mengulangi raka’at maka tidak pula
kami dapati dari hadis itu bahwa (Abu bakrah) dihitung satu raka’at.[13]
Maka diantara
dalil-dalil yang dijadikan hujjah bagi pendapat kami dalam masalah ini yaitu
hadis Abu Qatadah dan Abu Hurairah yang telah disepakati oleh Bukhari-Muslim
yaitu ;
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا
تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
"Jika shalat sudah ditegakkan
(iqamatnya) janganlah kalian mendatnginya dengan tergesa-gesa. Datangilah
dengan berjalan tenang. Maka apa yang kalian dapatkan shalatlah, dan mana yang
ketinggalan sempurnakanlah." [14]
Dalam
riwayat Nasai memakai lafaz “ وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا
“ artinya ; dan yang ketinggalan maka tunaikanlah.
Al-Hafiz Ibnu Hajar
berkomentar dalam Fathu Al-Bari : hadis ini telah dijadikan dalil bahwa
makmum yang mendapati imam dalam keadaan rukuk itu tidak dihitung satu raka’at
karena ada perintah supaya menyempurnakan apa-apa yang terlewat darinya yaitu
qiyam, dan bacaan fatihah di dalamnya. Dan
ini pendapatnya Abu Hurairah, bahkan Bukahri menghikayatkan dalam kitabnya
“Al-Qiraah khalfal imam” semua yang berpendapat atas wajibnya membaca fatihah
di belakang imam. Dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Khuzaimah, Adh-Dhiba’I,
dan selainnya dari kalangan muhadisin Syafi’iyah. Serta dikuatkan oleh Syeikh
Taqiyuddin As-Subkhi dari kalangan ulama mutaakhirin,,, selesai. Al-Iraqi mengatakan dalam syarh Tirmidzinya setelah ia menghikayatkan
dari gurunya As-Subkhi , beliau memilih pendapat bahwasanya tidak dihitung
raka’at bagi orang yang tidak mendapati bacaan fatihah, itulah pendapat kami.
Dan berkata Ibnu Hazem ; dihitung satu raka’at itu harus mendapati qiyam dan
bacaan fatihah berdasarkan hadis :” apa yang kalian dapatkan shalatlah, dan mana
yang ketinggalan sempurnakanlah”. Dan tidak dibedakan antara ketinggalan
raka’at, rukun, dan bacaan yang diwajibkan. sebab semuanya itu wajib, yang
shalat tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya yang wajib tersebut.[15]
Kesimpulan ;
-
Pendapat yang menyatakan makmum masbuq dapat
rukuknya imam dihitung satu raka’at itu lemah karena berdiri di atas
dalil-dalil yang lemah, dan logika yang kurang pas.
- Pendapat
yang meyatakan makmum masbuq dapat rukuknya imam tidak dihitung satu raka’at
sehingga wajib menyempurnakan yang terlewat itu pendapat yang kuat karena
berdiri di atas dalil-dalil yang shahih dan logika yang tepat.
Wallahu a’lam. Alhamdulillah
Syukron Yaa ustadziy
BalasHapusaamiin wa iyyaka
Hapus