Kritikan untuk Jumhur dari Sejumlah Ulama hadis dan Fiqih tentang Makmum Masbuq dapat Rukuk dapat Satu Raka’at

 


Oleh : ABU FATWA ALBANI SYAM
(SAMSUDIN MUKTI)

 

Jumhur ulama berpendapat bahwa makmum masbuq yang sempat mandapatkan rukuknya imam pada raka’at pertama sudah dihitung satu rakaat sehingga tidak usah menyempurnakan atau menambah satu raka’at lagi di akhir shalatnya.

 

Akan tetapi ada sejumlah ulama yang tidak sependapat dengan hal tersebut bahkan membantah argumen-argumen jumhur dengan argumen mereka yang sulit terbantahkan. Adapun ulama-ulama tersebut yaitu Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Adh-Dhiba’i, dan yang lainnya dari para muhadisin madzhab Syafi’iyyah, Ibnu Hazm dan sejumlah ulama-ulama mutaqaddimin. Pendapat ini dipilih oleh Imam Taqiyuddin As-Subkhi, dan Al-Hafiz Al-Iraqi serta yang lainnya dari kalangan ulama mutaakhirin.[1] Berikut pemaparannya ;

 

Hujjah (argument) yang digunakan oleh jumhur


1.   Hr. Abu Daud : 759. Ibnu Khuzaimah ; 1622. Al-Hakim, Al-Mustadrak : 783. Baihaqi, Sunan Al-Kubra ; 2407.


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْحَكَمِ حَدَّثَهُمْ أَخْبَرَنَا نَافِعُ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي الْعَتَّابِ وَابْنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ   شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yahya bin Faris] bahwa [Sa'id bin Al Hakam] telah menceritakan kepada mereka, telah mengabarkan kepada kami [Nafi' bin Yazid] telah menceritakan kepadaku [Yahya bin Abu Sulaiman] dari [Zaid bin Abu Al 'Attab] dan [Ibnu Al Maqburi] dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian datang untuk menunaikan shalat, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka ikutlah bersujud, dan janganlah kalian menghitungnya satu raka'at, dan barangsiapa mendapatkan rukuk, berarti dia telah mendapatkan shalat.

 

Titik pertengkaran pendapatnya terletak pada :

A. Kalimat “ الرَّكْعَةَ Jumhur ulama memaknainya  secara majazi yang artinya “rukuk”. Sedangkan ulama-ulama yang tidak sefaham dengannya memaknai kalimat tersebut secara hakiki yang artinya “satu raka’at”

 

B. Kalimat الصَّلَاةَ Jumhur memaknainya dengan arti “raka’at”. Sebagaimana kata Al-‘Azhim Abadi ;


قَالَ ابْنُ رُسْلَانَ : المرَادُ بِالصَّلاَةِ هُنَا الرَّكْعَةُ

Berkata Ibnu Ruslan : yang dimaksud dengan Ash-Shalat di sini yaitu raka’at.[2]

 

Sedangkan ulama yang lainnya menetapkan kalimat shalat dengan makna aslinya                   yaitu “shalat”. Dan inilah pendapat yang rajih karena makna hakikatnya.


Jika disimpulkan penerjemahan versi jumhur akan menjadi seperti ini ; “ dan       barangsiapa mendapatkan rukuk, berarti dia telah mendapatkan raka’at.


Sedangkan penerjemahan versi ulama selain jumhur akan menjadi seperti ini ;”dan                 barangsiapa mendapatkan raka’at, berarti dia telah mendapatkan shalat.

 

 Kritikan-kritikan ;

 

Berkata Al-‘Allamah Abu Ath-Thayyib ;

( وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَة ) : قِيلَ الْمُرَاد بِهِ هَاهُنَا الرُّكُوع فَيَكُون مُدْرِك الْإِمَام رَاكِعًا مُدْرِكًا لِتِلْكَ الرَّكْعَة ، وَفِيهِ نَظَر لِأَنَّ الرَّكْعَة حَقِيقَة لِجَمِيعِهَا ، وَإِطْلَاقهَا عَلَى الرُّكُوع وَمَا بَعْده مَجَاز لَا يُصَار إِلَيْهِ إِلَّا لِقَرِينَةٍ كَمَا وَقَعَ عِنْد مُسْلِم مِنْ حَدِيث الْبَرَاء بِلَفْظِ : فَوَجَدْت قِيَامه فَرَكْعَته فَاعْتِدَاله فَسَجْدَته ، فَإِنَّ وُقُوع الرَّكْعَة فِي مُقَابَلَة الْقِيَام وَالِاعْتِدَال وَالسُّجُود قَرِينَة تَدُلّ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِهَا الرُّكُوع ، وَهَاهُنَا لَيْسَتْ قَرِينَة تَصْرِف عَنْ حَقِيقَة الرَّكْعَة ، فَلَيْسَ فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ مُدْرِك الْإِمَام رَاكِعًا مُدْرِك لِتِلْكَ الرَّكْعَة .

Artinya :

( وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَة ) : katanya yang dimaksud dengan “ar-rok’ata” di sini yaitu rukuk. Jadi yang mendapatkan rukuknya imam berarti mendapatkan satu raka’at, akan tetapi (pada pemaknaan) seperti itu perlu ditinjau kembali karena justru raka’at itu hakikatnya mencakup rukuk. Serta penyebutan ar-rak’at dengan makna rukuk itu adalah majazi yang tidak bisa dijadikan makna seperti itu melainkan harus ada qarinah sebagaimana yang  terdapat pada riwayat Muslim dari hadis Al-Barra dengan lafaz ; "maka aku dapati qiyamnya, rukuknya (rak’atahu), i’tidalnya, dan sujudnya."

 

Maka adanya (penyebutan) ar-rak’at (yang diartikan rukuk) itu biasanya suka dihadapkan dengan kata qiyam, i’tidal, dan sujud, sebagai qarinah menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ar-rak’at di sana adalah rukuk. Akan tetapi pada hadis ini (di atas) tidak ada qarinah yang memalingkan dari makna hakikat raka’at (kepada rukuk). Maka (hadis) tersebut tidak bisa jadi dalil bahwa mendapatkan imam sedang rukuk sama dengan mendapatkan satu raka’at .[3]

 

Apalagi status hadis tersebut dha’if, karena pada sanadnya terdapat rawi bernama Yahya bin Abi Sulaiman. Dia didha’ifkan oleh para ulama hadis. berikut penilaian ulama-ulama terhadap Yahya ;

 

Berkata Bukhari : Munkarul Hadis (diingkari hadisnya). Berkata Abu hatim : Mudhtharibul Hadis (hadisnya tidak konsisten), bukan rawi tsiqat, dicatat hadisnya.[4]


Kemudian jumhur menyodorkan dalil penguat untuk hadis di atas sekaligus sebagai qarinah untuk kalimat “ar-rak’at” yang mau diartikan rukuk. Dengan hadis ;

 

أنا عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْغَافِقِيُّ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ»

Telah mengabarkan kepada kami Isa bin Ibrahim Al-Ghafiqi, telah menghadiskan kepada kami Ibnu wahb, dari Yahya biin Humaid, dari Qurrah bin Abdurrahman, dari Ibnu Syihab berkata ; telah mengabarkan kepadaku Ab Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ; siapa yang mendapati satu rak’ah (rukuk) dari shalat makai ia telah mendapatkan raka’at sebelum imam menegakkan punggungnya. Hr. Ibnu Khuzaimah : 1595. Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra : 2678.

 

 Kritikan dan bantahan

 

Hanya saja hadis ini dha’if pula. Alasannya ;

 

a.     Pada sanadnya terdapat Yahya bin Humaid.

 

- Berkata Al-‘Uqaili : telah menceritakan kepadaku Adam bin Musa berkata ; aku mendengar Al-Bukhari berkata ; Yahya bin Humaid dari Qurrah tidak ada tabi’. [5]

 

- Berkata Ibnu ‘Adi : Aku mendengar Ibnu Hammad berkata : telah berkata Al-Bukhari ; Yahya bin Humaid dari Qurrah dari Ibnu Syihab ia mendengar Ibnu Wahb, Yahya orang Mesir tidak ada tabi’ (yang mengikuti) hadisnya.[6]

 

- Berkata  Al-Hafiz Ahmad bin Shadiq Al-Ghamari : Yahya bin Humaid rawi majhul tidak bisa dipegang atas hadisnya.[7]


                              - Berkata Al-Ghassani ; berkata Uqbah : Yahya bin Humaid dan Qurrah, mereka                       dha’if.[8]

 

b. Bahwa pada matannya terdapat ziyadah (tambahan) redaksi

قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ صُلْبَهُ yang mana membedai dari matan hadis sebelumnya yang diriwayatkan melalui rawi dha’if Yahya bin Abi Sulaiman. Dengan demikian hadis ini masuk kategori hadis munkar.

 

Mengenai hal ini Al-Baihaqi juga memberi komentar sebagai berikut ;

 

قَالَ أَبُو أَحْمَدَ : هَذِهِ الزِّيَادَةُ :« قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَهُ ». يَقُولُهَا يَحْيَى بْنُ حُمَيْدٍ وَهُوَ مِصْرِىٌّ. {ج} قَالَ أَبُو أَحْمَدَ سَمِعْتُ ابْنَ حَمَّادٍ يَقُولُ قَالَ الْبُخَارِىُّ : يَحْيَى بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قُرَّةَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ سَمِعَ مِنْهُ ابْنُ وَهْبٍ مِصْرِىٌّ لاَ يُتَابَعُ فِى حَدِيثِهِ.

Artinya ;

Berkata Abu Ahmad ; tambahan ini : قَبْلَ أَنْ يُقِيمَ الإِمَامُ صُلْبَه   dikatakan oleh Yahya bin Humaid dia orang Mesir. Berkata Abu Ahmad : aku mendengar Ibnu Hammad mengatakan ; telah berkata Al-Bukhari : Yahya bin Humaid dari Qurrah, dari Ibnu Syihab, yang mendengar  darinya Ibnu Wahb orang Mesir tidak diikuti (tidak ada tabi’) pada hadisnya.[9]


        Dengan demikian, kesimpulan dari argumen pertama dan kedua yang digunakan oleh jumhur ternyata hadis-hadisnya lemah tidak bisa dijadikan hujjah. Bila dipaksakan pula akan menjadi rancu karena bagaimana mungkin hanya dengan sekedar mendapati rukuknya imam dapat dihitung satu raka’at sedangkan pada saat itu ada rukun lainnya yang terlewat seperti takbiratul ihram, qiyam, dan baca fatihah yang kesemuanya itu hukumnya wajib. Karena inilah Asy-Syaukani mengkritik pedas dalam kitabnya Nailul Authar Syarh Muntaqa Al-Ahbar, dan Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar”. Sebagaimana berikut ;

 

 Kritikan Asy-Syaukani  terhadap jumhur Ketika pembahasan tentang hukum bacaan makmum dan diamnya Ketika mendengar bacaan imam.


وَمِنْ هَهُنَا يَتَبَيَّنُ لَك ضَعْفُ مَا ذَهَبَ إلَيْهِ الْجُمْهُورُ أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ رَاكِعًا دَخَلَ مَعَهُ وَاعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ وَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ شَيْئًا مِنْ الْقِرَاءَةِ.

Dari sini nyatalah bagimu lemahnya apa yang dijadikan pendapat jumhur bahwa makmum yang mendapati imam sedang rukuk lalu ia masuk meyertai rukuknya imam, maka dihitung satu raka’at walaupun ia tidak mendapati bacaan fatihah sedikit pun.[10]

 

  Kritikan Ibnu Hazm terhadap masalah ini ;

 

وَصَحَّ عَنْهُ أَيْضًا عَلَيْهِ السَّلامُ: " مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا " وَبِيَقِينٍ يَدْرِي كُلُّ ذِي حِسٍّ سَلِيمٍ -:

   - أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الإِمَامَ فِي أَوَّلِ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الأُولَى كُلُّهَا.

   - وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ الأُولَى: فَقَدْ فَاتَتْهُ وَقْفَةٌ، وَرُكُوعٌ، وَرَفْعٌ، وَسَجْدَةٌ، وَجُلُوسٌ،

    - وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الْجَلْسَةَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ: فَقَدْ فَاتَهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ، وَالرَّفْعُ، وَسَجْدَةُ.

    - وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الرَّفْعَ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ. وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ السَّجْدَتَيْنِ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ، وَالرُّكُوعُ.

    - وَأَنَّ مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ: فَقَدْ فَاتَتْهُ الْوَقْفَةُ، وَقِرَاءَةُ أُمِّ الْقُرْآنِ؛ وَكِلاهُمَا فَرْضٌ، لا تُتِمُّ الصَّلاةُ إلا بِهِ وَهُوَ         مَأْمُورٌ بِنَصِّ كَلامِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِقَضَاءِ مَا سَبَقَهُ وَإِتْمَامِ مَا فَاتَهُ؛ فَلا يَجُوزُ           تَخْصِيصُ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بِغَيْرِ نَصٍّ آخَرَ؛ وَلا سَبِيلَ إلَى وُجُودِهِ !

 

Dan telah shahih juga riwayat darinya Shallallahu alaihi wasallam bahwa ; “apa-apa yang kalian dapati dari imam maka shalatlah, dan apa-apa yang kalian tertinggal maka  sempurnakanlah.”.

 

(hadis ini) secara yakin akan difahami oleh setiap orang yang memiliki perasaan sehat ;

 

 

- Bahwa makmum yang mendapati imam pada awal raka’at kedua, tentulah ia telah terlewat raka’at pertama seluruhnya.

 

- Bahwa makmum yang mendapati sujud awal raka’at kedua, tentulah ia telah terlewat wuquf (berdiri), rukuk, bangkit dari rukuk (I’tidal), sujud, dan duduk diantara dua sujud.

 

- Bahwa makmum yang mendapati dari duduk diantara dua sujud, tentulah ia telah terlewat berdiri, rukuk, bangkit (I’tidal) dan sujud.

 

- Bahwa makmum yang mendapati dari I’tidal, tentulah ia telah terlewat berdiri, dan rukuk.

 

- Bahwa makmum yang mendapati dua sujud, tentulah ia telah terlewat berdiri, dan rukuk.

 

- Bahwa makmum yang mendapati rukuk, tentulah ia telah terlewat berdiri, bacaan Fatihah, yang keduanya adalah wajib yang tidak akan sempurna shalat kecuali dengannya. Dan itu diperintah melalui nash sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk dilakukan apa-apa yang terdahuluinya dan disempurnakan apa-apa yang terlewat. Maka tidaklah boleh ada pengkhususan sedikit pun dari itu tanpa ada nash yang lain, dan tidak ada jalan untuk adanya (takhsish) ![11]

 

 Masih dari Ibnu Hazm, ia mengatakan :

 

Adapun sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :

 

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat berarti dia telah mendapatkan shalat."Hr. Bukhari : 546.

 

Hadis ini adalah benar, bahkan hadis ini justru menghujjat mereka. Karena dengan demikian tidak akan menggugurkan untuk menunaikan apa-apa yang terlewat dari rukun shalat, ini tidak ada seorang pun yang berbeda. Karena pada hadisnya juga tidak dikatakan “barangsiapa yang mendapatkan rukuk, maka sungguh telah mendapatkan rakat.[12]

 

Selanjutnya jumhur berhujjah dengan hadis Abu Bakrah r.a sebagai berikut;

 

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ

Dari [Abu Bakrah], bahwa dia pernah mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang rukuk, maka dia pun ikut rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Semoga Allah menambah semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali." Hr. Bukhari : 741. Abu Daud : 585, 586. Nasai : 861. Ahmad : 1951, 19604.

 

Pada riwayat ini tidak diterangkan bahwa Abu Bakrah diperintah untuk mengulang raka’at, maka disimpulkanlah dengan mendapati rukuk bersama imam itu mencukupi satu raka’at.

 

 Kritikan dan bantahan

 

Asy-Syaukani membantah, tidak ada pada hadis tersebut yang menjadi dalil atas pendapat jumhur, karena sebagaimana tidak ada perintah mengulangi raka’at maka tidak pula kami dapati dari hadis itu bahwa (Abu bakrah) dihitung satu raka’at.[13]

 

Maka diantara dalil-dalil yang dijadikan hujjah bagi pendapat kami dalam masalah ini yaitu hadis Abu Qatadah dan Abu Hurairah yang telah disepakati oleh Bukhari-Muslim yaitu ;

 

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

"Jika shalat sudah ditegakkan (iqamatnya) janganlah kalian mendatnginya dengan tergesa-gesa. Datangilah dengan berjalan tenang. Maka apa yang kalian dapatkan shalatlah, dan mana yang ketinggalan sempurnakanlah." [14]

 

Dalam riwayat Nasai memakai lafaz “ وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا “ artinya ; dan yang ketinggalan maka tunaikanlah.

 

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkomentar dalam Fathu Al-Bari : hadis ini telah dijadikan dalil bahwa makmum yang mendapati imam dalam keadaan rukuk itu tidak dihitung satu raka’at karena ada perintah supaya menyempurnakan apa-apa yang terlewat darinya yaitu qiyam, dan bacaan fatihah di dalamnya. Dan ini pendapatnya Abu Hurairah, bahkan Bukahri menghikayatkan dalam kitabnya “Al-Qiraah khalfal imam” semua yang berpendapat atas wajibnya membaca fatihah di belakang imam. Dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Khuzaimah, Adh-Dhiba’I, dan selainnya dari kalangan muhadisin Syafi’iyah. Serta dikuatkan oleh Syeikh Taqiyuddin As-Subkhi dari kalangan ulama mutaakhirin,,, selesai. Al-Iraqi mengatakan dalam syarh Tirmidzinya setelah ia menghikayatkan dari gurunya As-Subkhi , beliau memilih pendapat bahwasanya tidak dihitung raka’at bagi orang yang tidak mendapati bacaan fatihah, itulah pendapat kami. Dan berkata Ibnu Hazem ; dihitung satu raka’at itu harus mendapati qiyam dan bacaan fatihah berdasarkan hadis :” apa yang kalian dapatkan shalatlah, dan mana yang ketinggalan sempurnakanlah”. Dan tidak dibedakan antara ketinggalan raka’at, rukun, dan bacaan yang diwajibkan. sebab semuanya itu wajib, yang shalat  tidak akan sempurna kecuali dengan adanya yang wajib tersebut.[15]

 

Kesimpulan ;

-   Pendapat yang menyatakan makmum masbuq dapat rukuknya imam dihitung satu raka’at itu lemah karena berdiri di atas dalil-dalil yang lemah, dan logika yang kurang pas.

 

-   Pendapat yang meyatakan makmum masbuq dapat rukuknya imam tidak dihitung satu raka’at sehingga wajib menyempurnakan yang terlewat itu pendapat yang kuat karena berdiri di atas dalil-dalil yang shahih dan logika yang tepat.

 

Wallahu a’lam. Alhamdulillah

[1] Lihat : Al-Hafiz Ahmad bin Ash-Shiddiq Al-Ghamari, Naftsu Ar-Rau’ bianna Ar-Rak’ata Laa Tudraku bi Ar-Ruku’ ;                      37. Lihat juga : Al-‘Allamah Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsu Al-Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu Al-Ma’bud Syarh                     Sunan Ab Daud ; I : 262.
[2] Ibid, hlm. 270.
[3]Ibid, hlm. 262.
[4]Lihat : Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib ; IX : 244-245.
[5]Lihat : Al-‘Uqaili, Kitab Adh-Dhu’afa Al-Kabir ; IV : 398.
[6]Lihat ; Ibnu ‘Adi, Al-Kamil Fii Dhu’afa Ar-Rijal ; IX : 78.
[7]Lihat ; Al-Hafiz Ahmad bin Shadiq Al-Ghamari, Naftsu Ar-Rau’ bi Anna Ar-Rak’ata Laa Tudrik bii Ar-Ruku’ : 44.
[8]Lihat : Al-Ghassani, Takhrij Al-Ahadits Adh-Dhi’af : 158.
[9]Lihat : Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra ; II : 201.
[10]Lihat ; Asy-Syaukani, Nailul  Authar Syarh Muntaqa Al-Ahbar ; I : 227.
[11]Lihat : Al-Imam Al-Jalil Ibnu Hazem Al-Andalusi, Al-Muhalla bi Al-Atsar : II : 275.
[12]Lihat ; Al-Hafiz Ahmad bin Shadiq Al-Ghamari, Naftsu Ar-Rau’ bi Anna Ar-Rak’ata Laa Tudrik bii Ar-Ruku’ : 42.
[13]Lihat : Asy-Syaukani, Nailul Authar, Syarh Muntaqa Al-Ahbar : I : 228.
[14] Hr. Bukhari : 857. Muslim : 944, 945. Abu Daud : 485. Tirmidzi : 301. Nasai : 852. Ibnu Majah : 767. Ahmad : 6952,                  7339, 8609, 9459, 9550, 10427, 21541, 21565, 21573. Malik, Al-Muwaththa : 137. Ad-Darimi : 1251. 
[15]Lihat : Al-‘Allamah Abu Thayib Al-‘Azhim Abadi, Aunu Al-Ma’bud Syarh Abi  Daud : II : 266.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DALIL-DALIL SEPUTAR DA'WAH

STATUS HADIS TENTANG ARWAH YANG MENINGGAL BISA MELIHAT KEADAAN KERABATNYA YANG MASIH HIDUP DAN DAPAT MENDO'AKANNYA