TAHAPAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM

 



Oleh : Abu Fatwa Albani Syam
       (SAMSUDIN)

 

Islam sangat menekankan mengenai pendidikan, karena hakikatnya dengan pendidikanlah kehidupan manusia di bumi akan maslahat. Dahulu nabi Adam alalihissalam sebelum ditempatkan ke dunia, Allah membekali Nabi Adam segudang ilmu-ilmu. Kemudian Adam diajarkan ucapan salam ketika berjumpa dengan para malaikat yang lebih dulu ada sebelumnya. Peristiwa ini menggambarkan bahwa pendidikan itu bukan hanya mengajarkan ilmu melainkan dibarengi dengan pengajaran adab. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus kepada umatnya bukan hanya mengajarkan tata cara ibadah saja, akan tetapi termasuk menyempurnakan akhlak-akhlak manusia, bahkan rasulullah sendiri langsung mengamalkannya serta menularkannya kepada para sahabat.  Kedua unsur ini (tata cara ibadah-akhlak) adalah bagian daripada materi pendidikan.

 

A. Pengertian Pendidikan

 

Pendidikan menurut bahasa Arab yaitu Tarbiyyah  akar kata dari Rabba- Yurabbi artinya memelihara, mengasuh[1].

 

Sedangkan menurut istilah yaitu ;

 

1.  Menurut para ahli tafsir ;

 

a.    ar-Raghib al-Asfahaniy medefinisikan bahwa tarbiyyah / pendidikan :

الرَّبُّ فِي الأَصْلِ : التَّرْبِيَّةُ ، وَ هُوَ إِنْشَاءُ الشَّيْءِ حَالًا فَحَالًا إِلَى حَدِّ التَّمَامِ.

Ar-Rabbu pada asalnya : at-Tarbiyyatu,  yaitu menciptakan sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai batas kesempurnaan[2].

 

b.    Menurut Syaikh Abdurrahman al-‘Ayid :

التَّرْبِيَّةُ عَمَلٌ شَاقٌ وَ جَهْدٌ يَحْتَاجُ إِلَى وَقْتٍ, وَ هِيَ مُهِمَّةٌ لَيْسَتْ جَدِيْدَةً, وَ هِيَ عَمَلٌ فَاضِلٌ.

Tarbiyyah/ Pendidikan adalah sebuah pekerjaan yang mengikat dan sungguh-sunguh yang membutuhkan kepada waktu, dan itu sangatlah penting karena bukanlah dadakan, juga pendidikan adalah sebuah pekerjaan yang utama.[3]

 

c. Menurut  Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy :

التَّرْبِيَّةُ ، وَ هِيَ : تَبْلِيْغُ الشَّيْءِ إِلَى كَمَالِهِ شيئاً فشيئاً.

Tarbiyyah adalah menyampaikan seseuatu sampai menuju kepada kesempurnaan dengan cara sedikit demi sedikit.[4]

 

2. Menurut pandangan umum para ahli.

 

a.  Menurut PROF. DR. S. NASUTION, MA. :

 

       Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan    manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.[5]

 

b.    Menurut  Dr. Baihaqi  (seorang ahli Pedagogik Islam) :

 

    Pendidikan adalah usaha sadar yang diselenggarakan berlandaskan nilai tertentu untuk membimbing, mengajar, melatih, dan membina peserta didik agar ia dapat meningkatkan, mengembangkan dan menyalurkan dengan benar segenap potensi jasmani, rohani, akal pikiran, dan hawa nafsunya sehingga ia dapat hidup lebih puas dan baik. Produktif dan bertanggung jawab secara moril dalam rangka memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya, dan secara luas, masyarakat, bangsa, dan Negara. [6]

 

c.   Menurut Soegarda Poerbakawatja :

      Pendidikan adalah sebagai perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidunya baik jasmani atau rohaninya.[7]

 

d.   Menurut  Drs. M. Dalyono dalam bukunya Psikologi Pendidikan :

 

    Pendidikan adalah the total process off developing human abilities and behaviors, drawing on almost all life’s experiences (Tardif, 1987). Artinya seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman hidup. [8] Juga dapat diartikan pendidikan adalah sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.[9]

 

Dalam dictionary of Psychologi (1972) pendidikan diartikan sebagai the institutional procedures which are employed in accomplishing the development of knowledge, habits, attitudes, etc. Usually the term is applied to formal institution.  Jadi, pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang diperguanakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya.[10]

 

Definisi-definisi yang diuraikan diatas kiranya cukup memadai untuk menangkap gambaran umum  maksud dari pendidikan.

 

3. Tujuan Pendidikan

 

Tujuan pendidikan dalam islam dapat disimpulkan sebagai berikut ;[11]

 

a.  Menjawab seruan Allah swt., sebagaimana yang tertulis dalam surah at-Tahrim : 6,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا.....

“ Wahai orang-orang yang beriman  ! Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …… “.

b.  Membentuk  akidah dan keimanan anak-anak yang bersih.

c.   Membentuk keilmuan dan pengetahuan anak-anak.

d.  Membentuk akhlak mulia dan perilaku dan sopan santun anak-anak.

e.  Membentuk sisi sosial anak-anak yang bertanggung jawab.

f.   Membangun sisi kejiwaan yang kukuh dan perasaan anak-anak.

g.  Membentuk fisik yang kuat dan kesehatan tubuh anak-anak.

h.  Membentuk  rasa estetika, seni, dan kreativitas anak-anak.

 

4. Lapangan Pendidikan

 

Lapangan pendidikan dalam islam menurut Hasbi as-Shidiqi meliputi ;[12]

 

a.    Tarbiyah Jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan dan meyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya dapat dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya.

 

b.    Tarbiyah Aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya mencerdaskan akal menajamkan otak semisal ilmu hitung.

 

c.    Tarbiyah Adabiyah, yaitu sepala rupa prkatik maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan meningkatkan perangai.


Telah menjadi sebuah ungkapan di kita bahwa "didikan bukan dadakan". Hal ini ternyata sejalan dengan pandangan islam bahwa didikan itu harus di mulai sedini mungkin terutama didikan adab mesti ditanamkan sejak anak waktu kecil, dan itu menggambarkan bahwa didikan di islam itu bertahap sebagaimana dalam hadis ;

 

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Dari Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya." Hr. Abu Daud :

 

Menurut Abdul Majid dalam bukunya Pendidikan karakter perspektif Islam mengatakan bahwa dari hadis di atas dapat dinyatakan bahwa pendidikan karakter dapat diklasifikasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut ;

 

1.     Tauhid (Usia 0-2 tahun)

Diriwayatkan dari Abdurrazzaq bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam menyukai untuk mengajarkan kalimat " Laa Ilaaha Illallah" kepada setiap anak yang baru bisa mengucapkan kata-kata sebanyak tujuh kali, sehingga kalimat tauhid ini menjadi ucapan mereka yang pertama kali dikenalnya.

 

Menurut Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ahkam al-Maulad, apabila anak telah mampu mengucapkan kata-kata, maka diktekan pada mereka kalimat "Laa Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah". Dan jadikan suara pertama kali didengar oleh anak berupa pengetahuan tentang keesaan Allah.

 

2.    Adab (5-6 tahun)

Rasulullah shallallahu  alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ;

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ

Dari Anas bin Malik] ia menghadiskan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Muliakanlah anak-anak kalian dan perbaikilah tingkah laku mereka. Hr. Ibnu majah : 3661.

 

Menurut hidayatullah (2010; 32) pada fase ini, hingga berusia 5-6 tahun anak dididikbudi pekerti, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter berikut :

 

a.    Jujur, tidak berbohong

b.    Mengenal mana yang benar dan mana yang salah

c.    Mengenal mana yang baik dan mana yang buruk

d.    Mengenal mana yang diperintah (yang dibolehkan) dan mana yang dilarang (tidk dibolehkan).

 

3.    Tanggung jawab diri (7-8 tahun)

Perintah agar anak usia 7 tahun mulai menjalankan shalat ini menunjukkan bahwa anak mulai dididik untuk bertanggung jawab, terutama tanggung jawab pada diri sendiri. Anak mulai diminta untuk membina dirinya sendiri, dan dididik untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban dirinya sendiri.

 

4.    Caring/ peduli (9-10 tahun)

 

Setelah dididik tentang tanggung jawab diri, maka selanjutnya anak dididik untuk mulai peduli pada orang lain, terutama teman sebaya yang setiap hari ia bergaul. Menghargai orang lain (hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda), menghormati hak-hak orang lain, bekerjasama diantara teman-temannya, membantu dan menolong orang lain, dan lain-lain.

 

Nilai-nilai kepemimpinan muncul pada usia ini. Sebagai indikatornya adalah sewaktu Nabi mulai dipercaya menggembala kambing orang mekkah. Ketika nabi berusia kurang lebih empat tahun, pada saat ia berada di bawah asuhan Halimah di kampungnya, Nabi mulai ikut menggembala kambing milik ibu asuhnya itu. pada saat itu nabi ditemani pleh anak Halimah yang bernama Abdullah," (Moenawar Chalil, 1964; 98).

 

Lalu menginjak usia kurang dari 12 tahun. Kira-kira berusia sekitar 9 – 11 tahun. Hal ini dikuatkan oleh sebuah pernyataan : " Selanjutnyasetelah nabi berusia 12 tahun, nabi ikut pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke negeri Syam (Moenawar Chalil, 1964; 100).

 

Oleh sebab iti, pada usia ini tampaknya tepat jika anak dilibatkan dengan nilai-nilai kepedulian  dan tanggung jawab pada orang lain, yaitu aspek kepemimpinan.

 

5.    Kemandirian (11-12 tahun)

 

Pada fase kemandirian ini anak telah mampu menerapkan terhadap hal-hal yang menjadi perintah atau yang diperintahkan dan hal-hal yang menjadi larangan atau yang dilarang, serta sekaligus memahami konsekuensi risiko jika melanggar aturan (Hidayatullah, 2010; 32-24).

 

6.    Bermasyarakat (13 tahun ke atas)

 

Sejarah telah menunjukkan ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya Ismail, dan pada saat itu Ismail berusia 13 tahun. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a Bahwa ia (Ismail) telah mencapai usia 13 tahun (Syaikh Abu Bakar Jabir  al-Jaziri dalam Hidayatullah, 2010; 36).

 

Jika tahap-tahap pendidikan ini bisa dilakukan dengan baik, maka pada tingkat usia berikutnya tinggal menyempurnakan dan mengembangkan.



[1] Kamus al-Munawwir  hlm:462
[2] Ar-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Al-Fazil Quran, ( Beirut; Dar el-Fikr ); hlm. 189.
[3] Lebih lanjut lihat di  CD Maktabah Syamilah. Syaikh Abdurrahman al-‘Ayid. Kaifiyyah    Tarbiyyatul Aulad.
[4] Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy. Mahasinut Ta’wil. ( Beirut: Dar el-Fikr, 2005 ), hlm. 203.
[5] S. NASUTION, MA. Sosiologi Pendidikan. ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011    ), hlm. 10.
[6] Ubes Nur Islam. Mendidik Anak dalam Kandungan. ( Jakarta: Gema Insani, 2003 ), hlm. 9.
[7]  Ibid.
[8]  Drs. M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012 ), hlm. 5.
[9]  Ibid.
[10] Ibid.
[11]  Nur  Islam, Mendidik Anak dalam Kandungan, hlm. 11.
[12] Abdul Majid, S.Ag., M.Pd. dan Dian Andayani, S.Pd., M.Pd, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, 70.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritikan untuk Jumhur dari Sejumlah Ulama hadis dan Fiqih tentang Makmum Masbuq dapat Rukuk dapat Satu Raka’at

DALIL-DALIL SEPUTAR DA'WAH

STATUS HADIS TENTANG ARWAH YANG MENINGGAL BISA MELIHAT KEADAAN KERABATNYA YANG MASIH HIDUP DAN DAPAT MENDO'AKANNYA