USHUL FIQIH bag 1

 


Muhadharah  1


SEJARAH KEMUNCULAN KAIDAH-KAIDAH
 USHUL FIQIH[1]

 

Oleh : Abu Fatwa Albani Syam
(SAMSUDIN)

 

 Kaidah ushul fiqih secara umum lebih dahulu ada daripada fiqih. Jika kita merujuk pada realitas, kita mendapati bahwa adanya fikih didahului oleh kaidah-kaidah ushul fiqih yang menjadi pijakan hukum para sahabat dan orang-orang setelah mereka. Kaidah-kaidah ini terkadang terlihat jelas pada perkataan mereka para sahabat di berbagai situasi, meskipun kaidah-kaidah tersebut belum dikodifikasikan dalam kitab-kitab dan dinamakan dengan ilmu ushul fiqih.

 

Sebagai contohnya Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata mengenai sanksi2 bagi peminum khamer. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa' bab minuman, bahwa Umar bin al-Khaththab bermusyawarah tentang seorang laki-laki yang minum khamer. Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya : " aku berpendapat agar kamu menderanya delapan puluh [2]kali dera, karena kalau minum, maka akan mabuk. Kalau ia mabuk maka akan  banyak mengigau. Jika banyak mengigau, maka akan banyak berbohong," atau seperti yang dikatakannya," kemudian umar pun mendera peminum khamer dengan delapan puluh kali dera.[3] Jika kita mendengar hal itu, maka kita dapati bahwa Ali bin Abi Thalib dalam memutuskan hal ini beliau merupakan tokoh ahli fikih menempuh metode hukum berdasarkan akibat jangka panjang, atau hukum dengan sadd adz-dzara'i; sedangkan Sadd adz-Dzara'i termasuk salah satu kaidah ushul fiqih.

 

Contoh lainnya; Ibnu Mas'ud memberi putusan bahwa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai ia melahirkan, meskipun suaminya baru saja meninggal. Pendapat Ibnu Mas'ud ini diambil dari keumuman firman Allah Ta'ala, yang artinya ;

 

"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS. Ath-Thalaq: 4)

 

 Mengenai hal ini Ibnu Mas'ud berkata : " aku bersaksi bahwa surat an-Nisa ash-Shugra diturunkan setelah surat an-Nisa al-Kubra."

 

 Maksudnya, surat ath-Thalaq diturunkan setelah surat setelah surat al-Baqarah yang menyatakan , " Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istreri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari." QS. Al-Baqarah : 234.[4] Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

 

Pernah suatu saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus Mua'dz bin Jabal, beliau bersabda ; " Apa yang kamu perbuat jika dihadapkan kepadamu (suatu persoalan) yang memerlukan putusan ? Mu'adz menjawab : " Aku akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam kitabullah (al-Qur'an), beliau bersabda : " jika hal itu tidak engkau temukan dalam kitabullah ? Mu'adz menjawab : " Aku akan memutuskan dengan Sunnah Rasulullah (al-Hadis), beliau bersabda : "jika hal itu tidak ditemukan dalam Sunnah rasulullah ? Mu'adz menjawab : " Aku akan berijtihad dengan akal fikiranku sendiri, tidak kurang tidak lebih," maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menepuk dadanya seraya berkata : " segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusannya rasulullah shallallahu alaihi wasallam."[5]

 

Pada masa Tabi'in penggalian hukum semakin meluas lantaran banyak permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan banyaknya para ulama tabi'in yang meberikan fatwa, seperti Sa'id bin al-Musayyab dan kawan-kawannya di Madinah, 'Alqamah dan Ibrahim an-Nakha'i di Irak. Sebagian dasar dalam memberikan fatwa, mereka mempunyai al-Qur'an, Hadis, dan fatwa-fatwa sahabat. Bila tidak terdapat keterangan dari nash, maka sebagian mereka ada yang menempuh penetapan hukum dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan adapula yang menempuh jalan Qiyas. Jalan yang ditempuh oleh Ibrahim an-Nakha'i dan fuqaha Irak di dalam menetapkan hukum-hukum cabang adalah dengan dengan menetapkan illat (titik persamaan) yang dipergunakan untuk menqiyaskan setiap permasalahan yang bermacam-macam.

 

Pada periode tabi'in ini, kita menjumpai metode penetapan hukum syara' yang lebih banyak disbanding periode sebelumnya (masa sahabat). Karena setiap madzhab/ aliran fikih mempunyai metode penetapan hukum yang berbeda dengan madzhab fikih lainnya.

 

Setelah periode tabi'in, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid metode penetapan hukum syara' bertambah banyak corak dan ragamnya. Dengan semakin banyaknya metode penetapan hukum, maka semakin banyak pula kaidah-kaidah istinbat dan petunjuk-petunjuknya., sebagaimana dapat kita lihat dengan jelas dari ucapan dari para imam mujtahid.

 

Imam Abu Hanifah misalnya, membatasi dasar-dasar ijtihadnya dengan menggunakan al-Qur'an, Hadis, dan fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati. Sedangkan fatwa-fatwa yang masih diperselisihkan, ia bebas memilih salah satunya, dan tidak keluar atau menyimpang dari tabi'in, karena ia berpendapat bahwa mereka sama (derajat) dengan dirinya. Dalam berijtihad ia menyamakan antara qiyas dan istihsan.

 

Imam Malik mempunyai metode ijtihad yang jelas dengan berlandaskan pada amal (tradisi) penduduk Madinah. Hal itu telah dijelaskan dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, syarat periwayatan hadis serta kritiknya terhadap hadis seperti yang dilakukan oleh imam ash-Shairafi al-Mahir.

 

Orang yang Pertama Kali Mengkodifikasi Ilmu Ushul Fiqih

 

Adapun orang yang pertama kali mengarang dalam ilmu ushul fiqih adalah imamnya para imam, lentera umat, yaitu Abu Hanifah an-Nu'man rahimahullah, di mana beliau telah menjelaskan metode-metode istinbat dalam kitab ar-Ra'yu miliknya, dan telah dibacakan oleh kedua muridnya yaitu al-Qadhi Imam Abu Yusuf Ya'qub bin Ibrahimal-Anshari, dan Imam ar-Rabbani Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani rahimahumallahu, kemudian Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i mengarang ilmu ini dalam kitab ar-Risalahnya, dan setelah mereka Imam al-Huda Abu Manshur al-Maturidi juga telah mengarang dalam kitabnya Ma-akhidz asy-Syari'ah. Lalu Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Husain al-Karkhi, kemudian muridnya yang bernama Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Jashshash ar-Razi juga telah mengarang ilmu ini dalam kitabnya yang terkenal ushul al-Jashshash, lalu datang silih berganti orang-orang yang mengarang ilmu ini, seperti Imam Abu Zaid Ubaidillah bin Isa ad-Dabbusi, beliau telah mengarang kitab Taqwim al-Adillah dan Ta'sisan-Nazhar, lalu setelahnya muncul Fakhrul Islam al-Badzawi dan Syamsul Aimmah as-Sarakhsi mengarang kedua kitab mereka yang sangat agung. Mereka berdua mentahdzib dan mentahqih disiplin ilmu ini sehingga mereka menjadi objek para ahli fiqih setelah mereka berdua. Sehingga ketika mereka berdua bersepakat atas persoalan ini. Dengan kedua tersebut kitab-kitab Imam Muhammad bin Hasan disyarah (dijelaskan) sebagaimana hal itu diungkapkan secara jelas oleh Imam as-Sarakhsi dalam permulaan kitab beliau ini.[6]

 

Imam ar-Razi berkata : " orang-orang telah bersepakat bahwa orang yang pertama kali menyususn dalam ilmu ini – ushul fiqih- adalah imam asy-Syafi'i. dialah yang telah mengurutkan bab-babnya, membedakan beberapa pembagiannya dari yang lain, dan menjelaskan kedudukannya terkait yang kuat dan yang lemah.

 

Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi (w. 794 H). dalam kitab ushul fiqihnya yang berjudul al-Bahr al-Muhith berkata ; " Pasal: Imam asy-Syafi'i adalah orang pertama kali menyusun ushul fiqih. Beliau menyusunyya dalam kitab ar-Risalah, kitab Ahkam al-Qur'an, ikhtilaf al-Hadis, Ibthal al-Istihsan, kitab Jami' al-Ilm, dan kitab al-Qiyas, di dalamnya beliau menuturkan kesesatan muktazilah, dan penolakan dalam menerima persaksian mereka.[7]

 

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata : "sebelumnya kami tidak mengetahui mana yang khusus dan mana yang umum sampai datangnya Imam asy-Syafi'i.

 

Cara Imam asy-Syafi'I menjelaskan tentang hakikat ilmu ushul fiqih perbab dan perfasal demikian, tidak di dahului oleh siapa pun atau dengan kata lain, sampai sekarang tidak di dahului orang yang mendahuluinya.[8]

 

Kesimpulan Penulis : Kaidah ushul fiqih sudah ada sejaka zaman para sahabat dan tabi''in hanya saja tidak dibukukan, baru pada masa generasi selanjutnya disusun dan dibukukan.

 



[1] Disarikan dari Buku Sejarah Ushul Fikih, karya Prof. DR. Musthafa Sa'id Al-Hakim
[2] Hukuman
[3] Al-Muwaththa' : II : 842.
[4] Shahih Bukhari, no 4626. Sunan an-Nasai, bab al-Hamil al-Mutawaffa anha Zaujaha : VI : 163, 164.
 [5]  Hr. Abu Daud : 3592.
[6]  Muqaddimah Muhaqqiq Ushul as-Sarakhsi : 1-3
[7]  Abdurrazaq, at-Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-islamiyah : 233, 234.
[8]  Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh : 14-16.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritikan untuk Jumhur dari Sejumlah Ulama hadis dan Fiqih tentang Makmum Masbuq dapat Rukuk dapat Satu Raka’at

DALIL-DALIL SEPUTAR DA'WAH

STATUS HADIS TENTANG ARWAH YANG MENINGGAL BISA MELIHAT KEADAAN KERABATNYA YANG MASIH HIDUP DAN DAPAT MENDO'AKANNYA