Washiyat Empat Imam Madzhab (Tentang Berlepas Diri dari Taqlid)
Oleh : Abu Fatwa Albani
(Syamsudin Mukti)
قَالَ
الإِمَامُ أَبُو حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ :
٠ إِذَا
صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
٠ لَا
يَحِلُّ أَنْ يَأْخُذَ بِقَولِنَا مَالَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ
وَ
فِي رِوَايَةٍ : فَإِنَّنَا بَشَرٌ نَقُولُ القَوْلَ اليَوْمَ وَنَرْجِعُ غَدًا
٠ إِذَا
قُلْتُ قَوْلًا يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَ خَبَرَ الرَّسُولِ .ص. فَاتْرُكُوا قَوْلِي.
)صفة
صلاة النبي : 25
Berkata Imam Abu Hanifah
rahimahullah :
٠
> Apabila shahih haditsnya maka
itu madzhabku
٠ > Tidaklah halal mengambil
pendapat kami sedangkan dia tidak tahu dari dari mana kami mengambil sumbernya.
> Dalam satu riwayat : karena
sesungguhnya kami itu manusia, kami
berpendapat suatu pendapat hari ini, dan bisa jadi kami berbalik di
waktu esok.
٠ > Apabila aku mengatakan
suatu pendapat yang menyelisihi kitab
Allah (Quran) dan Khabar dari Rasul saw.
maka tinggalkanlah oleh kalian pendapatku. Lihat kitab Shifat
Shalat Nabi : 25
قَالَ الإِمَامُ مَالِكُ بْنُ اَنَسٍ رَحِمَهُ اللهُ
:
٠
إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ أُخْطِئُ وَ أُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي رَأْيِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ
وَالسُّنَّةَ فَخُذُوهُ وَكُلُّ مَالَمْ يُوَافِقِ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوهُ.
٠
لَيْسَ أَحَدٌ
بَعْدَ النَّبِيِّ . ص. إِلَّا وَ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلَّا النَّبِيُّ.
ص.
٠
Berkata Imam Malik bin Annas
:
> Sesungguhnya tiada lain aku
hanyalah manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka lihatlah pada pendapatku,
maka setiap apa-apa (pendapatku) yang sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan
Sunnah maka ambillah oleh kalian. Dan setiap pendapatku yang tidak sesuai
dengan al-Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah oleh kalian.
> Tidak ada seorang pun setelah
Nabi saw melainkan bisa diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali
Nabi saw.
قَالَ الإِمَامُ
الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ :
٠
أَجْمَعَ المُسْلِمُونَ
عَلَى مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ .ص. لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ
يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.
٠
إِذَا وَجَدْتُمْ
فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ .ص. فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ.ص.
وَدَعَوْا مَا قُلْتُ.
وَفِي رِوَايَةٍ : فَاتَّبِعُواهَا وَلَا
تَلْتَفِتُوا إِلَى قَوْلِ اَحَدٍ.
٠
إِذَا صَحَّ
الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي.
٠
كُلُّ مَسْئَلَةٍ
صَحَّ فِيْهَا الخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ .ص. عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ
مَاقُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي.
٠
كُلُّ حَدِيْثٍ
عَنِ النَّبِيِّ .ص. فَهُوَ قَوْلِي وَ إِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنِّي.
Berkata imam asy-Syafi’i rahimahullah :
٠
> Kaum muslimin telah sepakat atas orang yang
telah jelas baginya sunnah dari rasulullah saw. maka tidaklah halal bagi dia
untuk meninggalkan sunnah tersebut dikarenakan pendapat seseorang.
٠ > Apabila kalian mendapatkan
dalam kitabku membedai sunnah rasulullah saw. maka berpendapatlah kalian dengan
sunnah rasulullad saw, dan tinggalkanlah pendapatku.
> Dan dalam suatu riwayat : maka ikutilah oleh kalian sunnah rasul
itu dan janganlah kalian melirik ke pendapat seseorang.
٠
> Apabila sohih haditsnya maka
itulah madzhabku.
٠ > Segala masalah yang sohih
padanya khabar dari rasulullah saw. menurut ahli naqli (ahli riwayat) membedai apa yang telah aku katakan, maka
saya akan rujuk (kembali) kepada khabar rasul itu dalam hidupku ataupun setelah
matiku.
٠
>Setiap hadits dari nabi saw.
itulah pendapatku walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.
قَالَ الِإمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللهُ :
٠
لَاتُقَلِّدْنِي
وَلَا تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلَا الشَّافِعِيَّ وَلَا الأَوْزَاعِيَّ وَلَا الثَّوْرِيَّ
وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا.
٠
لَاتُقَلِّدْ
دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هضؤُلَاءِ مَاجَاءَ عَنِ النَّبِيِّ .ص. وَعَنْ أَصْحَابِهِ
فَخُذْ بِهِ ثُمَّ التَّابِعِيْنَ بَعْدُ.
Berkata
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah :
٠
> Janganlah kamu mentaklidiku dan jangan pula
mentaklidi Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, ats- Tsauri, dan ambilah dari (sumber)
apa yang telah mereka ambil.
٠ > Janganlah kamu taklid agamamu kepada seseorang
dari mereka. Tapi apa-apa yang datang dari Nabi saw, dan sahabatnya maka
ambilah itu kemudian tabi’in setelahnya.
( Lihat kitab Sifat Shalat
Nabi : 31. Ditukil oleh A. Zakaria dalam kitabnya al-Hidayah fii
Masail Fiqhiyyah Muta’aridhah : 12-13.
Komentar
Posting Komentar