FIQIH JUMAT 1


Oleh : Abu Fatwa Albani
(SAMSUDIN)

Bag : 1



 
 
A. PENAMAAN HARI JUMÁT

Hari Jumat pada masa Jahiliyah dinamakan dengan al-Arubah. Sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam ash-Shabuni dalam tafsir ayat ahkamnya, dan arti dari Arubah yaitu rahmat. Terdapat beberapa pendapat siapa yang mengawali penamaan hari juma’at dengan jum’at diantaranya  :
-        Yang pertama menamai hari jum’at dengan jum’at itu adalah Ka’ab bin Luay.[1]
-        Ada yang mengatakan bahwa yang pertama menamai hari itu dengan hari jum’at adalah kaum Anshar.[2]
-        Berkata Ibnu Sirin :  penduduk Madinah telah berkumpul sebelum kedatangan Nabi shallallāhu alaihi wasallāmdan sebelum turun ayat jum’at dan mereka (penduduk Madinah) menamainya hari tersebut dengan jum’at itu karena mereka mengatakan bahwa Yahudi mempunyai hari yang mereka berkumpul pada hari tersebut di setiap hari sabtu, begitupun Nashrani mempunyai hari yang seperti itu yaitu hari ahad, maka penduduk madinah menyeru :” kemarilah kita berkumpul sampai kita menjadikan satu hari untuk kita berdzikir dan shalat kepada Allah Ta’ala. Penduduk Madinah mengatakan : hari sabtu untuk Yahudi, hari ahad untuk Nashrani, maka mereka (penduduk Madinah) menjadikan hari Arubah waktu untuk berkumpul dan shalat pada hari itu dua rakaat kemudian berdzikir mereka menamainya hari jum’at tatkala mereka berkumpul, lalu mereka menyembelih kambing untuk As’ad bin Zurarah kemudian mereka memakan dari daging sembelihannya itu, maka itulah awal jum’atan dalam Islam.[3]
-        Penamaan hari jum’at itu langsung dari Allah Swt, artinya sebelum manusia ada nama itu sudah dulu ada, sebagaimana dalam riwayat melalui sahabat rasul yaitu Salman dimana ia mengatakan dari nabi shallahu alaihi wassallam :

إِنَّمَا سُمِّيَتْ جُمْعَةً لِأَنَّ اللهَ جَمَعَ فِيْهَا خَلْقَ آدَمَ"
“Sesungguhnya tiadalain dinamai hari jum’at itu dengan jum’at karena Allah Swt mengumpulkan padanya penciptaan Adam.”[4]


B.   SEJARAH DISYARIÁTKANNYA SHALAT JUMÁT

Bila kita memperhatikan awal disyariátkan ibadah jumát maka akan dapat dilihat bahwa jumát disyariatkan melalui dua petunjuk. Pertama, yaitu petunjuk Al-Quran langsung ayat 9 dari surah al-Jumuáh. Kedua, ijtihad para sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam yang berkesimpulan mengadakan ibadah pada hari jumát karena Rasulullah shallallahu álaihi wasallam telah memerintahkan mereka untuk memiliki hari raya yang berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. Ijtihad para sahabat ini ternyata disusul dengan kabar yang sampai kepada mereka bahwa jumát telah disyariátkan. Dan ayat tentang kewajiban itu telah turun. Hal ini sungguh sangat membuat mereka berbahagia.

Imam ath-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah shallallahu álaihi wasallam singgah di Quba”pada hari senin 12 Rabiúl Awwal tahun 13 kenabian/ 24 September 622 M waktu dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amer bin Auf selama empat hari (hingga hari kemis 15 Rabiúl Awwal/ 27 September 622 M), dan membengun masjid pertama yang disebut masjid Quba. Pada hari Jumát 16 Rabiúl Awwal/ 28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin Auf, dating kewajiban jumát dengan turunnya ayat 9 surah al-Jumuáh, yang berbunyi :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

            Maka Nabi shalat jumát bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah shalat jumát yang pertamakali dilakukan oleh beliau. Setelah melaksanakan shalat jumát, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Pada saat yang sama , para sahabat laki-laki yang sudah lebih dahulu hijrah dan tinggal di Madinah, melaksanakan shalat jumát diimami oleh Asád bin Zurarah (riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah). Pelaksanaan shalat ini didasarkan atas ijtihad sahabat, yaitu keinginan para sahabat untuk memiliki hari ied yang beda dengan Yahudi dan Nashara. (lihat, Tarikh ath-Thabari : I : 571. Sirah Ibnu Hisyam, Juz III, hal 22. Tafsir al-Qurthubi : XVIII : 98).[5]


[1]  Lihat  Muhammad Ali ash-Shabuni , Tafsir Ayat al-Ahkām Min al-Qurān, jilid II, hlm. 413-414.
[2]  Al-Qurtubi, Tafsir al-Jāmi’ Liahkamil Qurān, jilid  IX, hlm 342.
[3]  Ibid.
[4]  Ibid
[5]  Wawan Shofwan Sh, Musafir boleh tidak Jumát, hal. 55,56,57.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritikan untuk Jumhur dari Sejumlah Ulama hadis dan Fiqih tentang Makmum Masbuq dapat Rukuk dapat Satu Raka’at

DALIL-DALIL SEPUTAR DA'WAH

STATUS HADIS TENTANG ARWAH YANG MENINGGAL BISA MELIHAT KEADAAN KERABATNYA YANG MASIH HIDUP DAN DAPAT MENDO'AKANNYA