HUKUM BAYI TABUNG MENURUT IJTIHAD PERSATUAN ISLAM (PERSIS) DAN NAHDLATUL ULAMA (NU)
Oleh
: Abu Fatwa Albani
(SAMSUDIN)
Persatuan
Islam (PERSIS) dan Nahdlatul Ulama (NU) berpendapat sama bahwa hukum bayi
tabung itu tergantung kepada sifatnya.
Adapun keputusan-keputusan dan argumen-argumennya
sebagai berikut :
A. Keputusan-keputusan
:
Keputusan Persatuan Islam (PERSIS)[1]
1.
Proses bayi
tabung dengan spermatozoid dari suami dan ovumnya dari isterinya kemudian
ditanam dalam rahim isterinya karena alasan yang ma’qul[2]
hukumnya mubah (boleh).
2.
Proses
bayi tabung dengan spermatozoid dari suami dan ovumnya dari isterinya kemudian
ditanam bukan dalam rahim isterinya itu, hukumnya haram (terlarang).
3.
Proses
bayi tabung dengan spermatozoid dan ovum bukan dari pasangan suami isteri,
hukumnya haram (terlarang).
Keputusan Nahdlatul Ulama (NU)[3]
1.
Apabila
mani yang ditabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata
bukan mani suami isteri, maka hukumnya haram.
2.
Apabila
mani yang ditabung tersebut mani suami isteri tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram,[4]
maka hukumnya juga haram.
3.
Apabila
mani yang ditabung itu mani suami isteri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram,
serta dimasukkan ke dalam rahim isterinya sendiri, maka hukumnya boleh.
Adapun diantara
argumen-argumennya yaitu :
B.
Argumen-argumen
:
Argumen Persatuan Islam (PERSIS)
1.
Dalil-dalil
yang berkenaan dengan diktum no 1 :
Dalil
Nash al-Quran
-
QS.
Ar-Rum : 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ
مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ
مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
-
QS. Al-Baqarah : 223.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
v عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ: " {فَأْتُوا حَرْثَكُمْ}
قَالَ: مَنْبَتَ الْوَلَدِ "
Dari Ibnu
Abbas : (datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu) ia mengatakatan : tempat tumbuh
anak.[5]
v الحَرْثُ: ... مَوْضِعُ حَرْثِكُمْ،
أَوْ عَلَى سَبِيْلِ التَّشْبِيْهِ فَفَرْجُ المَرْأَةِ كَالأَرْضِ، وَالنُّطْفَةُ
كَالبَذْرِ، وَالوَلَدُ كَالنَّبَاتِ الخَارِجِ،
Al-Hartsu
: yaitu tempat kamu menanam, atau dengan cara tasybih, maka farji perempuan itu
seperti bumi (tanah), nuthfah (mani) itu seperti biji dan
al-walad (anak) itu seperti tumbuh-tumbuhan yang tumbuh.[6]
Kaidah
Fiqih
الأَصْلُ
فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
Asal hukum pada setiap sesuatu
adalah boleh.
الحُكْمُ
يَدُورُ مَعَ العِلَّةِ وُجُودًا وَ عَدَمًا
Hukum itu berlaku beserta ada dan
tidak adanya illah.
2. Dalil-dalil yang berkenaan dengan dictum no 2 dan 3 :
-
QS.
Al-Mu’minun : 5-7.
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
5.
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas.
-
Hr. Abu Daud : 1844
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ
الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِينَا خَطِيبًا قَالَ أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ
لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Dari [Rufaifi' bin Tsabit Al
Anshari], ia berkata ketika berkhutbah kepada kami; ketahuilah bahwa aku tidak
berbicara kepada kalian kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Pada saat perang Hunain beliau berkata: "Tidak halal
bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya
kepada tanaman orang lain.[7]
-
Hr. Ibnu Abid Dunya dari al-Haitsam bin Malik
ath-Thai
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ
الشِّرْكِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحْمٍ لَا يَحِلُّ
لَهُ
Tiada dosa setelah syirik yang lebih besar di sisi Allah selain
mani yang ditempatkan oleh seorang laki-laki pada rahim yang tidak halal
baginya.[8]
Argumen Nahdlatul Ulama
(NU)
1. Tafsir al-Quran al-Ázhim[9]
عَنْ النَّبِيّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " مَا مِنْ ذَنْب بَعْد الشِّرْك أَعْظَم
عِنْد اللَّه مِنْ نُطْفَة وَضَعَهَا رَجُل فِي رَحِم لَا يَحِلّ لَهُ " .
Dari Nabi shallallahu álaihi wasallam ia bersabda : Tiada dosa
setelah syirik yang lebih besar di sisi Allah selain mani yang ditempatkan oleh
seorang laki-laki pada rahim yang tidak halal baginya.
2.
Tuhfah
al-Habib ála Syarh al-Khatib[10]
الحَاصِلُ أَنَّ المُرَادَ بِالمَنِيِّ المُحْتَرَمِ حَالَ خُرُوجِهِ
فَقَطْ عَلىَ مَا اعْتَمَدَهُ م ر وَإِنْ كَانَ غَيْرَ محُتْرَمٍ حَالَ الدُّخُولِ
، وَتَجِبُ العِدَّةُ بِهِ إِذَا طُلِقَتْ الزَّوْجَةُ قَبْلَ الوَطْءِ عَلَى المُعْتَمَدِ
خِلاَفاً لِابْنِ حَجَرٍ لِأَنَّهُ يُعْتَبَرُ أَنْ يَكُونَ مُحْتَرَماً فِي الحَالَيْنِ
كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا .
Kesimpulannya adalah, bahwa yang
dimaksud mani muhtaram (terhormat/tidak haram) itu adalah kondisi keluarnya
saja, sebagaimana yang diyakini oleh imam Ramli, walaupun tidak muhtaram ketika
masuk. Maka seorang wanita wajib beriddah dngan sebab masuknya mani’ tersebut
bila ia bertalak sebelum bersetubuh menurut pendapat mu’tamad. Berbeda dengan Ibnu
Hajar, sebab beliau mempertimbangkan mani tersebut muhtaram dalam dua
kondisinya (saat keluar dari si laki-laki dan saat masuk ke Rahim si perempuan)
sebagaimana yang ditetapkan syaikhuna.
3. Kifayah al-Akhyar fi Hill Ghayah al-Ikhtishar[11]
[فَائِدَةٌ]: لَوْ اِسْتَمْنَى الرَّجُلُ بِيَدِ امْرَأَتِهِ
أَوْ أَمَّتِهِ جَازَ لِأِنَّهَا مَحَلُّ اسْتِمْتِاعِهِ.
(Faidah) Seandainya seorang laki-laki
berusaha mengeluarkan spermanya (beronani) dengan tangan istri atau budak
wanitanya, maka hal tersebut boleh karena istri dan budaknya itu memang tempat
bersenang-senangnya.
[1] Keputusan
Sidang Dewan Hisbah tentang Bayi Tabung, Bandung, 18 Ramadhan 1410 H/ 14 April
1990 M
[2] Logis
[3] Keputusan Munas
Alim Ulama di Kaliurang Yogyakarta, Tanggal 30 Syawal 1401 H/ 30 Agustus 1981
M.
[4] Muhtaram yaitu mani yang keluar/ dikeluarkan
dengan cara tidak dilarang oleh syara’.
[5] Tafsir Ibnu
Jarir ath-Thabari : III : 745.
[6] Rawaiúl Bayan Tafsir Rawaiúl Bayan : I : 293.
[7] Hr. Abu Daud : 1844.
[8] Lihat Al-Munawi, Faidlul Qadir Syarh
al-Jamiú ash-Shagir : V : 580.
[9] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Ázhim,
(Kairo: Dar al-Hadits, 2003), Juz III, hal. 50.
[10] Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Tuhfah
al-Habib ála Syarh al-Khatib, (Mesir Musthafa al-Halabi, 1951), Juz IV,
hal. 37.
[11] Abu Bakar bin Muhammad al-Kishni, Kifayah al-Akhyar fi Hill
Ghayah al-Ikhtishar, (Beirut Dar Ihya’al-Kutub al-Árabiyah, t. th), Juz I,
hal. 478.
Komentar
Posting Komentar